Judul | LEGISLASI Militer dan Pemberantasan Terorisme |
Tanggal | 01 Desember 2016 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 5 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi I - Badan Legislasi |
Isi Artikel | "There's a reason you separate military and the police. One fights the enemies of the state, the other serves and protects the people. When the military becomes both, then the enemies of the state tend to become the people." - William Adama. Salah satu isu pada revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang sedang dilakukan adalah terkait dengan pelibatan militer. Para wakil rakyat kini nyaris tak lagi memperdebatkan isu tersebut. Padahal, ada prinsip-prinsip internasional yang harus dipastikan tetap turut dipenuhi dalam revisi itu. Kutipan di atas menukil dari ucapan tokoh fiksi komandan William Adama yang diperankan Edward James Olmos dalam serial televisi Battlestar Galactica. Sebuah fiksi sains (2003-2009) yang berkisah tentang pergulatan koloni terakhir manusia di angkasa luar dalam mempertahankan peradabannya. Majalah Time menginterpretasi serial ini sebagai alegori dari war on terror, kebijakan militeristik dalam penanganan terorisme ala Amerika Serikat, yang pada akhirnya menuai banyak kritik dan masalah. Kritik tajam pendekatan militer dalam penanganan terorisme tersebut memunculkan pemikiran dan berbagai kajian serius dari berbagai lembaga dan cendekia pemerhati isu terorisme global. Pada akhirnya, banyak pihak berkeyakinan pendekatan perang atau militeristik dalam penanganan terorisme sangat patut ditinggalkan. RAND Corporation, lembaga nonprofit riset dan pengembangan kebijakan global yang kerap memberi masukan ke institusi militer AS, pernah membuat riset tentang bagaimana kelompok-kelompok teroris, yang beroperasi antara tahun 1968 dan 2006 dapat berakhir eksistensinya. Kesimpulannya, sangat sedikit kelompok teroris yang berhasil dihentikan aktivitasnya berkat operasi militer. Sebagian besar kelompok teroris yang berakhir aktivitas terornya adalah berkat operasi yang dijalankan polisi dan atau lembaga intelijen, serta peran politik pemerintah. Dari temuan tersebut, rekomendasi RAND adalah AS harus menitikberatkan strategi counter-terrorism pada aspek penegakan hukum oleh aparat polisi dan pengumpulan informasi intelijen ketimbang pendekatan war on terrorism (WOT) yang bertumpu pada pengerahan kekuatan militer. Kelompok teror Penelitian RAND tersebut meninjau 648 kelompok teror di dunia yang beroperasi antara 1968 dan 2006. Dari jumlah itu, 268 kelompok teroris berhenti beroperasi dalam kurun waktu tersebut, sementara sisanya ada yang tetap aktif dan ada yang pecah menjadi kelompok baru. Dari 268 kelompok teroris yang menghentikan operasinya, 40 persen karena penetrasi dan eliminisasi melalui operasi kepolisian dan lembaga intelijen, 43 persen berkat kebijakan politik dengan pemerintah, dan hanya 7 persen yang berhenti beroperasi berkat operasi militer. Riset RAND menemukan, operasi militer hanya efektif ketika dipakai untuk melawan kelompok teroris yang bertaut dengan aksi insurgensi dalam grup yang besar, berkapasitas senjata yang kuat, dan terorganisasi sangat baik. Haviland Smith, pensiunan pejabat CIA (Central Intelligence Agency) dalam jurnal American Diplomacy yang bekerja sama dengan University of North Carolina membuat ulasan menarik. Menurut dia, kebijakan WOT yang digelontorkan mantan Presiden AS George W Bush merupakan kesalahan fatal karena justru mentransformasi secara gradual fenomena terorisme memasuki praktik insurgensi. Gejala insurgensi ini pun juga menggejala di Indonesia, seperti pernah diakui Kepala Polri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, sejak aparat polisi menjadi sasaran target kelompok teroris. Prinsip global Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional tentu tidak bisa melepaskan diri begitu saja dari prinsip dan regulasi internasional dalam penanganan terorisme, khususnya yang dikonstruksi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tahun 2006, PBB telah menetapkan strategi penanganan terorisme, yaitu Global Counter Terrorism Strategies (GCTS). Sebagai derivasi strategi tersebut, PBB menelurkan 16 konvensi, yang 8 di antaranya telah diratifikasi oleh Indonesia. Dalam GCTS ada 4 pilar strategi, yakni mencegah situasi kondusif penyebaran terorisme; menjalankan pencegahan sekaligus pemberantasan terorisme; mengembangkan kapasitas negara dan memperkuat peran sistem PBB dalam mencegah dan memberantas terorisme; dan memastikan penegakan hak asasi manusia dengan menjunjung supremasi hukum sebagai dasar penanganan terorisme. Dalam perspektif global (PBB), terorisme adalah kejahatan kriminal yang didorong atau dimotivasi secara ideologis politis. Dengan begitu, keterlibatan militer dalam penanganan teror harus sangat terbatas. Sejalan dengan norma-norma internasional yang dirumuskan GCTS, keterlibatan militer harus pada posisi membantu ketika situasinya dinilai melampaui kapasitas kepolisian. Kondisi yang melampaui kapasitas kepolisian itu, misalnya, ketika situasi menuntut operasi dengan pengerahan rantai logistik yang panjang. Contohnya, jika terjadi penyanderaan di pedalaman hutan yang menuntut operasi dengan penggunaan persenjataan militer, jet tempur, pesawat angkut, dan seterusnya. Pasalnya, polisi di dunia memang tidak didesain untuk beroperasi dengan rantai logistik yang panjang. Terkait kondisi khusus itu, dalam kerangka negara demokrasi, penentuan atau penilaian situasi yang melampaui kapasitas polisi harus di tangan otoritas sipil, yakni presiden. Tujuannya, semua tindakan yang dilakukan (aparat negara) secara akuntabel bisa dipertanggungjawabkan melalui pengadilan sipil. Dengan demikian, jika militer mengambil peran lebih jauh dalam penindakan terorisme, apakah juga mau mempertanggungjawabkannya di pengadilan sipil? Bagaimanapun, Indonesia telah melalui era gelap penanganan terorisme. Tahun 1950-an hingga 1960-an memakai pendekatan militer, lalu tahun 1970-an-1980-an dengan pendekatan intelijen. Kini, ketika prinsip penegakan hukum oleh kepolisian menjadi pegangan dunia internasional, jangan sampai Indonesia malah mengambil kebijakan "berbeda" dan kehilangan wibawa. Sebab, konsekuensinya akan sangat mahal, seperti ucapan William Adama di awal tulisan ini. Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Desember 2016, di halaman 5 dengan judul "Militer dan Pemberantasan Terorisme". |
Kembali ke sebelumnya |