Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Rencana Dewan Perwakilan Rakyat merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD secara terbatas untuk menambah kursi pimpinan DPR/MPR berpotensi melebar ke pasal-pasal lain. Sejumlah fraksi tidak sepakat jika revisi itu hanya untuk menambah kursi pimpinan bagi Fraksi PDI-P.
Seperti diketahui, Fraksi PDI-P mengusulkan revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) terkait penambahan kursi pimpinan DPR, dari yang semula 5 orang, menjadi 6 orang, untuk diberlakukan sampai 2019. Selepas itu, komposisi pimpinan DPR kembali ke lima orang yang dipilih berdasarkan asas proporsionalitas. Hal itu akan diatur dalam ketentuan peralihan pada undang-undang hasil revisi.
Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) Arsul Sani, Minggu (4/12), di Jakarta, mengatakan, pembahasan revisi UU MD3 kemungkinan akan berlangsung alot. Pasalnya, setiap fraksi memiliki agenda dan keinginan tertentu terkait substansi yang harus direvisi di UU MD3.
Fraksi PPP, misalnya, juga ingin merevisi pasal tentang kewenangan DPR mengawasi pembentukan peraturan turunan di bawah UU dan pasal tentang kewenangan DPR untuk mengetahui rencana anggaran mitra kerja dalam pelaksanaan APBN sebelumnya sampai satuan tiga.
"Beberapa fraksi meminta supaya revisi ini tidak sekadar menambah kursi pimpinan. Seharusnya memang revisi sebuah UU tidak hanya menyangkut soal bagi-bagi kursi saja," kata Arsul.
Hal senada juga disampaikan Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat Benny K Harman. Menurut dia, pembagian kursi pimpinan DPR memang harus dikembalikan ke asas proporsionalitas. Namun, revisi UU MD3 tidak bisa hanya untuk membagi kekuasaan ke Fraksi PDI-P.
"Revisi itu harus dilihat sebagai kesempatan untuk membangun parlemen yang akuntabel, jadi harus menyeluruh," kata Benny.
Upaya hukum
Mantan Ketua DPR Ade Komarudin mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum guna meluruskan putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang memberhentikan dirinya dari jabatan Ketua DPR. Ade mengklaim hanya ingin merehabilitasi nama baiknya, bukan untuk mengejar kembali kursi Ketua DPR yang kini diampu rekan separtainya, Setya Novanto.
Sebagaimana diketahui, putusan MKD itu diambil pada Kamis (30/11), tiga jam lebih awal dari rapat paripurna DPR yang hasilnya menyetujui usulan Fraksi Partai Golkar untuk mengganti Ade Komarudin dengan Setya Novanto. Ade dijatuhi sanksi etik sedang terkait dua perkara pelanggaran kode etik.
Dalam konferensi pers kemarin Ade yang baru kembali dari berobat di luar negeri mengatakan, akan mengambil langkah lebih lanjut terkait putusan MKD. Sebagai langkah pertama, ia meminta MKD meluruskan putusan yang dianggapnya keliru karena tidak sesuai dengan prosedur dan materi perkara.
"Ini menyangkut nama baik, bukan jabatan. Ini tidak ada kaitannya dengan saya mau kembali menjadi Ketua DPR atau tidak. Sesuatu yang salah dan tidak baik itu perlu diluruskan," katanya.
Ketua MKD dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pihaknya menunggu surat permohonan rehabilitasi resmi dari Ade ke Sekretariat MKD. MKD belum akan mengambil sikap apa pun sebelum menerima surat resmi. (AGE)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Desember 2016, di halaman 2 dengan judul "Revisi Bisa Melebar".
|