Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Evaluasi secara nasional yang komprehensif tetap harus dilakukan. Meskipun nantinya penyelenggaraan ujian siswa kelas akhir di jenjang SD, SMP, dan SMA/SMK diserahkan kepada daerah sebagai wujud desentralisasi pendidikan, penerapan standar nasional akan dipertahankan.
Hal itu mengemuka dalam Rapat Kerja Komisi X DPR dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengenai moratorium ujian nasional (UN), Kamis (1/12), di Jakarta. Rapat dipimpin Ketua Komisi X Teuku Riefky Harsya.
Secara umum, berbagai kalangan mendukung moratorium atau penghapusan UN. Namun, mereka mempertanyakan berbagai hal teknis terkait implementasi pengganti UN.
Teuku mengatakan, rencana pemerintah ini berkesan tiba-tiba. Komisi X belum mendapatkan kajian filosofis, yuridis, dan sosiologis mengenai usulan moratorium UN pada 2017. "Keputusan ini akan berdampak pada 7,6 juta siswa, 80.000 sekolah, dan 700.000 pengawas. Selain itu, keputusan itu juga terkait anggaran UN hampir Rp 500 miliar per tahun," ucapnya.
Mendikbud mengatakan, secara sekilas Kemdikbud sudah menyampaikan rencana moratorium dalam rapat kerja dengan DPR beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan informal dengan pemimpin Komisi X, ia juga merasa ada "lampu hijau" bagi moratorium UN.
Menurut Muhadjir, jika moratorium UN disetujui Presiden dan diberikan payung hukum berupa instruksi presiden, Kemdikbud telah menyiapkan penggantinya, yakni ujian sekolah berstandar nasional (USBN). Penyelenggaraan USBN diserahkan kepada pemerintah provinsi (SMA/SMK), dan pemerintah kota/kabupaten (SD serta SMP). Standar, prosedur operasional standar, kisi-kisi ujian, serta monitoring dan evaluasi ditetapkan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan Kemdikbud.
Dari soal-soal USBN itu, ada soal titipan pemerintah pusat yang berbentuk uraian atau esai. Ada pula soal pilihan ganda yang disiapkan daerah dan mengacu pada kisi-kisi nasional.
USBN tak hanya diberlakukan pada mata pelajaran yang selama ini diujikan dalam UN. Ujian pengganti UN itu menurut rencana meliputi semua mata pelajaran. "Persiapannya sudah 70 persen," ucap Muhadjir. Anggaran USBN, menurut dia, tetap memakai dana pemerintah pusat.
Muhadjir mengatakan, evaluasi pendidikan berbasis standar nasional tetap harus ada. Ijazah yang kredibel merupakan hak warga negara setelah menyelesaikan pendidikan.
MY Esti Wijayati dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengatakan, moratorium UN merupakan impian lama dari banyak pihak. Namun, kesiapan sekolah dan daerah harus diperhitungkan dengan baik.
Laila Istiana dari Fraksi Partai Amanat Nasional meminta perubahan UN menjadi USBN tak sekadar ganti nama. "Jangan sampai murid menjadi kelinci percobaan karena kajian tidak matang," ujarnya. (ELN)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Desember 2016, di halaman 11 dengan judul "Pengganti UN Disiapkan".
|