Isi Artikel |
JAKARTA - Rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menghentikan sementara (Moratorium) pelaksanaan ujian nasional (UN) dinilai sangat terlambat. Pasalnya, Mahkamah Agung (MA) dalam putusannya pada 14 September 2009 silam melarang pemerintah melaksanakan UN.
Maka itu, menurut Anggota Komisi X DPR Popong Otje Djunjunan, seharusnya pemerintah menghapus UN semenjak putusan MA itu diketok. "Bahwa moratorium ini sebetulnya terlambat," katanya dalam rapat kerja Komisi X DPR bersama Mendikbud Muhadjir Effendy di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (1/12/2016).
Namun, wanita yang akrab disapa Ceu Popong ini tidak mempermasalahkan keterlambatan rencana moratorium UN tersebut. "Biar lambat, asal selamat," kata politikus Partai Golkar ini.
Oleh karena itu, dirinya mendukung rencana moratorium UN itu. "Walaupun di sini ada sinis ganti menteri ganti kebijakan, tapi jujur saja saya acungkan dua jempol. Kalau ada sepuluh jempol, sepuluh jempol," ucapnya.
Karena, menurut dia, rencana moratorium UN itu menunjukkan bahwa Mendikbud Muhadjir Effendy mengerti ruh pendidikan. Selain itu, dia menilai rencana moratorium UN itu juga menunjukkan bahwa Mendikbud Muhadjir ingin mengembalikan undang-undang.
"Pasal 58 dan 59 sudah jelas bahwa penilaian adalah hak guru, bukan hak pemerintah, itu ada di dalam undang-undang," ungkapnya.
Maka itu, dirinya berpendapat selama ini pemerintah melanggar Undang-undang dengan melaksanakan UN. "Karena Golkar ini sudah mendukung pemerintah, kucing juga tau sudah mendukung pemerintah, yang memerintah juragan Jokowi, sebagai pendukung pemerintah sekarang enggak ada jalan lain bagi Golkar," katanya.
Kendati demikian, dukungan Partai Golkar atas rencana moratorium UN ini bukan tanpa catatan. Selama rencana moratorium UN itu telah melalui penelitian yang mendalam, Ceu Popong mendukungnya. Kemudian, asalkan Rp500 miliar yang dianggarkan pemerintah tiap tahunnya untuk pelaksanaan UN dialihkan tepat sasaran.
(kri)
|