Isi Artikel |
Anggaran Naik Sangat Signifikan
Alokasi Infrastruktur 2017 Mencapai Rp 387 Triliun
JAKARTA, KOMPAS — Alokasi anggaran infrastruktur terus meningkat signifikan dalam dua tahun terakhir. Namun, akuntabilitas pengelolaannya perlu diperketat agar anggaran tidak menjadi target korupsi. Anggaran harus terkonversi menjadi proyek berkualitas sesuai rencana.
"Dari sisi anggaran, meningkatnya alokasi anggaran infrastruktur tersebut baik. Ini menunjukkan bahwa pemerintah melihat kekurangan yang selama ini terjadi di Indonesia," kata salah satu pendiri Lembaga Riset Creco, Raden Pardede, di Jakarta, Selasa (13/12).
Namun, peningkatan anggaran itu harus diikuti eksekusi yang efektif. Seluruh tahap, mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, sampai dengan pengawasan, berjalan baik. Dengan demikian, infrastruktur berkualitas dan sesuai rencana.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, anggaran infrastruktur meningkat signifikan sejak 2015. Ini sejalan dengan kebijakan pemerintah Presiden Joko Widodo yang menempatkan pembangunan infrastruktur sebagai prioritas kerjanya.
Pada 2009 sampai dengan 2014, alokasi anggaran infrastruktur dalam APBN rata-rata 8,98 persen dari total belanja negara. Pada 2009, alokasi anggaran infrastruktur mencapai Rp 76,3 triliun atau 8,1 persen dari total belanja negara. Tahun 2014, alokasinya Rp 178 triliun atau 8,7 persen dari total belanja negara.
Pada 2015, alokasi anggaran infrastruktur naik menjadi Rp 256 triliun atau 14,2 persen, tahun ini sebesar Rp 317 triliun atau 15,2 persen, sedangkan tahun depan Rp 387 triliun atau 18,6 persen.
Utang
APBN 2017 menargetkan pendapatan senilai Rp 1.750,3 triliun. Sementara belanja dianggarkan Rp 2.080,5 triliun. Dengan demikian, terjadi defisit Rp 330,2 triliun atau 2,41 persen terhadap produk domestik bruto. Defisit akan ditutup menggunakan utang.
Raden menekankan, peningkatan anggaran dan efektivitas eksekusi adalah dua hal yang berbeda. Oleh sebab itu, politik anggaran yang sudah tepat arahnya itu mesti dibarengi dengan pembentukan sistem pengendalian, pengawasan, dan evaluasi atas eksekusi proyek infrastruktur.
Pada Orde Baru, fungsi tersebut dijalankan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Namun, saat ini, menurut Raden, tak ada tim yang melakukan fungsi tersebut secara khusus dan obyektif. Setelah reformasi, terjadi pemisahan kewenangan tanpa ada sistem yang efektif menjaga harmonisasinya.
Perencanaan pembangunan, misalnya, dilakukan oleh Bappenas. Penganggaran dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Adapun pelaksanaan dilakukan oleh kementerian dan lembaga negara serta pemerintah daerah.
Secara terpisah, Koordinator Advokasi dan Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran Apung Widadi sependapat bahwa meningkatnya anggaran infrastruktur merupakan kebijakan yang tepat. Namun, ia mengingatkan, perburuan rente juga semakin berkembang, mulai dari proses perencanaan anggaran hingga realisasi proyek.
Hal itu, ujarnya, terjadi justru karena adanya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional. Ia menganggap instruksi tersebut membatasi fungsi pengawasan oleh aparat penegak hukum.
"Ini menguntungkan pemburu rente. Inpres sebaiknya dibatalkan dan Jokowi segera membuat satgas pengawasan infrastruktur. Ini semata-mata agar proyek infrastruktur tidak menjadi ladang korupsi baru dan ujung-ujungnya menghasilkan infrastruktur tak berkualitas," kata Apung. (LAS)
|