Isi Artikel |
Harga Naik, Tren Produksi Masih Turun
JAKARTA, KOMPAS — Harga minyak dan gas, tahun depan, cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua tahun terakhir. Hal ini berpeluang meningkatkan penerimaan negara secara signifikan. Persoalannya, tren penurunan volume produksi minyak dan gas yang terjadi sejak 2004 masih akan berlanjut pada tahun depan.
Dosen Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto, di Jakarta, Rabu (14/12), menyatakan, terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) menimbulkan ketidakpastian perekonomian global dan berpotensi memunculkan ketegangan antara AS dan sejumlah negara mitra. Hal ini menjadi faktor utama yang mendorong harga minyak dunia naik.
Faktor ini diperkuat dengan keputusan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) memotong produksi 1,2 juta barrel per hari, dari 33,7 juta barrel menjadi 32,5 juta barrel. Ini berlaku per Januari-Juni 2017 dan dapat diperpanjang untuk paruh kedua pada 2017.
Pri memperkirakan harga rata-rata selama 2017 berkisar 55-60 dollar AS per barrel, sementara asumsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2017 adalah 45 dollar AS per barrel. Artinya, kenaikan harga minyak akan meningkatkan penerimaan negara.
Namun, persoalannya adalah produksi minyak dan gas siap jual konsisten turun. Artinya, kenaikan harga minyak akan mendongkrak sumbangan migas terhadap penerimaan negara pada tahun depan, tetapi tidak terlalu signifikan.
"Jadi, tahun depan, penerimaan negara dari migas akan naik sedikit karena volume produksinya memang kecil. Sudah begitu, konsumsi dalam negeri meningkat sehingga akan semakin sedikit produksi migas yang diekspor," kata Pri.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari sektor migas anjlok dalam dua tahun terakhir. Ini sejalan dengan produksi migas siap jual yang konsisten turun. Pada periode yang sama, harga minyak dunia juga anjlok.
Sejak 2004, produksi minyak siap jual konsisten turun. Saat itu, produksinya mencapai 1.038.000 barrel per hari. Pada tahun-tahun berikutnya, produksi terus turun sampai mencapai 778.000 barrel per hari pada 2015. Tahun ini, proyeksinya 820.000 barrel per hari. Tahun depan, produksi diasumsikan turun menjadi 815.000 barrel per hari.
Tren serupa terjadi pada produksi gas siap jual, dari 1,33 juta barrel setara minyak per hari pada 2010 menjadi 1,15 juta barrel setara minyak per hari pada 2016. Tahun depan, asumsinya 1,15 juta barrel setara minyak per hari alias stagnan.
Turunnya produksi sejalan dengan anjloknya harga minyak dunia. Setelah mencapai angka di atas 100 dollar AS per barrel selama 2011-2013, harga minyak dunia turun menjadi 97 dollar AS per barrel pada 2014. Tahun 2015, harganya turun lagi menjadi 40 dollar AS per barrel.
Kombinasi kedua faktor tersebut menyebabkan penerimaan negara dari sektor migas anjlok pada dua tahun terakhir. Penerimaan dari migas bersumber dari Pajak Penghasilan (PPh) migas dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas.
Realisasi PPh migas pada 2014 adalah Rp 87,4 triliun. Tahun lalu, realisasinya merosot menjadi Rp 49,7 triliun. Tahun ini, proyeksinya Rp 33,4 triliun.
Adapun PNBP migas pada 2014 mencapai Rp 216,9 triliun. Tahun lalu, realisasinya anjlok menjadi Rp 78,2 triliun. Tahun ini, proyeksinya Rp 68,7 triliun.
Perhatian minim
Pri berpendapat, isu utamanya terletak pada turunnya produksi migas siap jual. Tren ini disebabkan minimnya perhatian pemerintah dan DPR pada hulu migas. Indikator utamanya adalah revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang tak kunjung dibahas dan dituntaskan. Padahal, kekosongan hukum di hulu migas terjadi sejak 2012. Hal ini berawal dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang berimplikasi pada pembubaran Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
MK memutuskan pasal yang mengatur tugas dan fungsi BP Migas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat. Gugatan ke MK diajukan oleh sejumlah organisasi masyarakat.
Untuk mengisi kekosongan hukum, pemerintah lalu mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2012 untuk membentuk Satuan Kerja Sementara Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Meski demikian, hal itu dipandang tidak cukup sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam iklim investasi hulu migas di Indonesia. Ditambah dengan harga minyak yang turun, eksplorasi migas menjadi lesu.
Secara terpisah, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Maxensius Tri Sambodo memproyeksikan harga minyak dunia tahun depan berkisar 55-60 dollar AS per barrel. Pada satu sisi, ini akan meningkatkan penerimaan negara. Namun, di sisi lain, ini akan menggelembungkan biaya impor dan meningkatkan subsidi energi.
Dalam sebuah acara, Selasa lalu, Menteri BUMN Rini S Soemarno meminta PT Pertamina (Persero) agar lebih agresif mengakuisisi blok-blok minyak dan gas bumi yang ada di luar negeri. Akuisisi menjadi tumpuan di tengah sulitnya mencari cadangan minyak dan gas bumi baru di Indonesia. Kontribusi dari hasil akuisisi cukup signifikan bagi Pertamina.
Wakil Direktur Utama Pertamina Ahmad Bambang menambahkan, dari belanja modal Pertamina yang setiap tahunnya berkisar 6-7 miliar dollar AS, porsi investasi di hulu mencapai 60-70 persen. Untuk akuisisi, Pertamina tengah mempertimbangkan blok migas di Aljazair yang saat ini masih dimiliki Repsol, perusahaan Spanyol.
(APO/LAS)
|