Judul | Fondasi Demokrasi Indonesia Goyah Kelas Menengah Jadi Titik Krusial |
Tanggal | 16 Desember 2016 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 1 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Pimpinan - Mahkamah Kehormatan Dewan |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Persatuan dan keadilan yang menjadi penyokong utama demokrasi di Indonesia tengah menghadapi persoalan serius. Lebarnya kesenjangan sosial ekonomi saat ini, dan masyarakat yang merasa demokrasi hanya menguntungkan segelintir elite, menjadi masalah. Dibutuhkan solusi cepat dan tepat atas kondisi ini. Kompas/Wisnu Widiantoro Pemimpin Redaksi "Kompas" Budiman Tanuredjo (dari kiri ke kanan), Gubernur Lemhanas Agus Widjojo, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Muti, Wapemred "Kompas" Ninuk M Pambudhi, Trias Kuncahyono, Sekjen PB NU Helmi Faizal Zaini, Yose Rizal, Yudhi Latief, Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar, Ketua DPP PDI-P Andreas Pariera saat diskusi panel di Kantor Redaksi Harian "Kompas", Jakarta, Kamis (15/12). Diskusi itu membahas Penguatan Ketahanan Nasional, Menagih Janji Parpol dan Ormas. Indeks Ketahanan Nasional yang disusun Laboratorium Pengukuran Ketahanan Nasional Lembaga Ketahanan Nasional (Labkurtannas Lemhannas) mengindikasikan melemahnya indeks ketahanan ideologi dan politik dalam kurun tujuh tahun terakhir. Dalam skala 1 hingga 5, makin mendekati 1, kondisi ketahanan kian rawan. Indeks Ketahanan Nasional tahun 2016 ada di 2,60. Ini lebih baik dibandingkan tahun 2015 yang skornya 2,55. Secara longitudinal, indeks tahun 2016 membaik dari tahun 2010 yang memiliki skor 2,43. Namun, ketahanan ideologi perlahan turun sejak tahun 2010. Indeks ketahanan ideologi tahun 2016 di angka 2,06. Pada 2010, ketahanan ideologi di angka 2,31. Aspek ketahanan ideologi ini mencakup aspek dari sila kesatu, sila kedua, dan sila ketiga dari Pancasila dengan indikator delapan variabel. Variabel itu antara lain toleransi, kesederajatan dalam hukum, kesamaan hak kehidupan sosial, solidaritas sosial, dan persatuan bangsa. Sementara ketahanan politik yang mencakup aspek eksekutif, legislatif, dan yudikatif juga turun dari 2,57 tahun 2010 menjadi 2,43 pada 2016. Padahal, ketahanan politik pernah membaik pada 2013 dan 2014. "Ini potret saat ini, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana itu terjadi. Dibutuhkan diagnosis mengapa hal itu terjadi dan perlu dicarikan solusi atas kekurangan ini," kata Gubernur Lemhannas Agus Widjojo dalam Diskusi Panel Kompas dengan tema "Diskusi Penguatan Ketahanan Nasional, Menagih Peran Parpol dan Ormas" di Redaksi Kompas di Jakarta, Kamis (15/12). Pembicara lain dalam diskusi ini adalah Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Helmy Faishal Zaini, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti, Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Andreas Hugo Pareira, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Boy Rafli Amar, anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Yudi Latif, dan Direktur Eksekutif Politicawave Yose Rizal. Dua sayap Yudi Latif menuturkan, demokrasi Indonesia memiliki dua sayap, yakni persatuan dan keadilan. Kedua sayap itu kini tengah bermasalah. Keadilan sosial di Indonesia bermasalah karena indeks kesenjangan makin melebar. Hal ini sebenarnya juga dihadapi negara lain. Selain itu, ada kekhawatiran tenunan persatuan bangsa sobek karena serangan terhadap nilai spiritualitas Nusantara, toleransi. Namun, Indonesia belum "terbakar" seluruhnya. "Titik krusialnya ada di kelas menengah yang berpotensi membawa perubahan keindonesiaan di masa depan," katanya. Yudi mencatat, ada kenaikan kelas menengah terdidik dari desa yang masuk ke perkotaan melalui urbanisasi. Namun, mobilisasi vertikal kelas menengah juga sering kali tersandung secara ekonomi dan politik. Kejatuhan kelas menengah menimbulkan kemarahan yang diarahkan pada pihak yang dianggap sebagai biang persoalan. Kemarahan kelas menengah ini juga sulit tersalurkan melalui partai politik yang dinilai tidak merepresentasikan aspirasi rakyat. Abdul Mu'ti mengatakan, alih-alih menjalankan fungsinya sebagai penyambung lidah rakyat, partai dan perwakilannya di legislatif terjebak pada pragmatisme politik. "Akhirnya, masyarakat menyerah terhadap demokrasi sebab demokrasi masa kini hanya menguntungkan segelintir elite yang mempunyai modal, dan melahirkan elite-elite yang kapitalis dan pragmatis," kata Mu'ti. Perangkat hukum sebenarnya memberi ruang dan posisi bagi parpol dalam menjalankan fungsinya, tetapi partai gagal mereformasi diri. Mu'ti mencontohkan pergantian Ketua DPR untuk kedua kalinya dalam satu tahun ini. Berdasarkan usulan Partai Golkar, yang didukung sembilan partai lain, jabatan itu kembali kepada Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto yang sebelumnya mundur dari posisi Ketua DPR karena dugaan pelanggaran etik. "Urusan negara dan rakyat dijadikan permainan politik. Ini cacat moral dalam politik," kata Mu'ti. Andreas Pareira tidak menampik, parpol belakangan ini tidak maksimal menjalankan tugasnya. Fungsi pengawasan, legislasi, dan anggaran di DPR tak dilaksanakan karena anggota DPR hanya memikirkan kepentingan partai masing-masing serta keberlangsungan karier politik pribadinya. Penyebab penurunan peran parpol itu, menurut Andreas, adalah sistem politik yang berantakan dan berbiaya tinggi. Sistem pemilu proporsional terbuka adalah salah satu akar masalah. Sistem itu melahirkan anggota DPR yang terpilih lebih berdasarkan popularitas dan kemampuan kapital, tetapi minim idealisme dan kompetensi. Akhirnya, jalur aspirasi rakyat pun bergeser dari partai ke media sosial. Sayangnya, menurut Yose Rizal, media sosial kini diisi konten berita palsu, berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), intoleransi, dan radikalisme. Selain itu, ia khawatir adanya kecenderungan terjadi bias konfirmasi sehingga orang percaya pada informasi yang mengonfirmasi keyakinan yang mereka miliki saja. Oleh karena itu, dia mendorong adanya literasi media sosial sehingga masyarakat mengetahui konsekuensi perbuatannya di media sosial. "Orang yang beretika di dunia nyata, di media sosial bisa menebar fitnah. Seolah ada etika berbeda. Memaki orang itu berdosa (di ranah offline), tetapi di media sosial tidak," katanya. Masyarakat sipil Sementara pilar demokrasi Indonesia yang lain, yaitu organisasi masyarakat sipil, seperti NU dan Muhammadiyah, belum maksimal disokong negara untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan. Peran ormas keagamaan itu justru terkesan hanya sebagai "pemadam kebakaran" ketika terjadi permasalahan sosial-politik. Helmy Faishal berharap pemerintah meningkatkan peran ormas keagamaan. NU telah final menetapkan Pancasila sebagai dasar negara yang hakiki untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga NU tidak akan ragu membantu pemerintah mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih adil dan memakmurkan masyarakat. "Ormas keagamaan perlu lebih dilibatkan pemerintah terutama untuk menjaga nilai-nilai kebangsaan di masyarakat. Jangan hanya ketika situasi memanas barua pemerintah mengajak bicara kami," kata Helmy. Menurut Mu'ti, seluruh elemen negara harus bersama-sama membangun nilai kebangsaan, pola pikir keindonesiaan, serta membuat cetak biru semacam garis besar haluan negara untuk menentukan arah bangsa Indonesia di masa mendatang. Boy Rafli Amar menuturkan, kepolisian yang mengedepankan upaya pencegahan membutuhkan bantuan ormas keagamaan, seperti NU dan Muhammadiyah, yang menjaga nilai-nilai Pancasila dan toleransi. "NU dan Muhammadiyah harus menjadi leading sector agar Pancasila jadi acuan bersama. Kami khawatir kalau ormas mainstream ini kurang aktif, kelompok baru berideologi radikal bisa menutup nilai-nilai luhur bangsa," ujar Boy. (SAN/AGE/GAL) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2016, di halaman 1 dengan judul "Fondasi Demokrasi Indonesia Goyah". |
Kembali ke sebelumnya |