Judul | Bukan Pengalihan Isu Densus 88 Polri Kembali Tangkap Terduga Teroris |
Tanggal | 16 Desember 2016 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 4 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Pimpinan - Mahkamah Kehormatan Dewan |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa penangkapan terduga teroris sama sekali bukan pengalihan isu atas kondisi nasional saat ini. Aksi teror harus diusut sampai tuntas karena mengancam jiwa manusia dan mengganggu kedamaian masyarakat. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar menyatakan dengan tegas, aksi teror merupakan sesuatu yang harus dituntaskan dan bukan merupakan pengalihan isu. "Yang ada di media itu didasarkan fakta dari setiap peristiwa yang terjadi. Kami menilai ini sangat penting dan perlu menjadi perhatian karena mengancam jiwa dan mengganggu kedamaian masyarakat," ungkap Boy, di Jakarta, Kamis (15/12). Atas dasar itu, Badan Reserse Kriminal Polri pun melayangkan undangan kepada anggota Komisi X DPR, Eko Hendro Purnomo, untuk memberikan penjelasan terhadap pernyataannya mengenai peristiwa penemuan bom di Bekasi sebagai bentuk pengalihan isu. Namun, Eko tidak memenuhi undangan yang dikirimkan kepadanya. Semestinya, Eko memberikan keterangan kepada penyidik pada Kamis kemarin. Panggilan pemeriksaan terhadap Eko menuai reaksi dari DPR. Polri dinilai terlalu reaktif terhadap pernyataan yang dilontarkan oleh anggota DPR. "Kepolisian tidak perlu reaktif terhadap komentar anggota DPR. Jika terlalu reaktif, setiap komentar atau pernyataan anggota DPR yang dianggap berseberangan, bakal selalu diproses oleh kepolisian," ujar anggota DPR dari Fraksi PAN, Yandri Susanto. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mengatakan, pihak atau institusi di luar DPR memang perlu diberi pelajaran supaya tidak dengan mudahnya memeriksa anggota DPR. Terlebih jika yang dilakukan oleh anggota DPR, itu berkaitan dengan hak dan kewajibannya sebagai anggota DPR. Pola baru Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri kembali menangkap terduga teroris terkait penemuan bom di Bekasi. Densus menangkap pasangan suami-istri HG dan TS alias UA, warga Kabupaten Ciamis di rumah kontrakan mereka di Jalan Padasuka, Kelurahan Sukamaju Kaler, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, sekitar pukul 04.30 Kamis kemarin. Selain di Tasikmalaya, Densus, kemarin, juga menangkap IP (35), warga Desa Brenggong, Kecamatan Purworejo, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, di desanya. IP adalah terduga teroris yang diduga terlibat dalam jaringan teroris yang baru saja ditangkap di Bekasi, Sabtu (10/12) lalu. Keterlibatan pasangan suami-istri dalam jaringan teroris ini disebut sebagai pola baru dan patut diwaspadai agar tidak makin menyebar. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Mabes Polri Komisaris Besar Martinus Sitompul menyampaikan, TS dan HG diketahui yang menawarkan Dian Yulia Novi menjadi pelaku bom bunuh diri di salah satu obyek vital negara. "Pertemuan Dian dengan Solihin yang ditangkap di Bekasi itu berawal dari pasangan ini. Untuk selanjutnya, kami masih mendalami dan melakukan pengembangan lebih lanjut terkait dengan orang-orang yang diduga terlibat," kata Martinus. Terkait penangkapan ini, Kepala Kepolisian Daerah Jabar Inspektur Jenderal Bambang Waskito menginstruksikan jajarannya, khususnya Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), untuk lebih intensif memantau wilayahnya masing-masing. "Gerakan radikalisme meluas memperjuangkan jihad yang dianggap benar sesuai dengan keyakinan mereka. Ini perlu diantisipasi oleh Bhabinkamtibmas sebagai pengumpul bahan keterangan harus berfungsi dengan baik," ujar Bambang. Sejauh ini, kepolisian telah mengamankan 11 orang yang diduga terkait dengan bom Bekasi. Dari 11 orang tersebut, 7 orang ditetapkan sebagai tersangka. Di antaranya adalah Muhammad Nur Solihin yang merupakan pemimpin dari kelompok kecil jaringan tersebut. Selain merekrut, Solihin juga yang menyediakan berbagai amunisi dengan menggunakan dana yang dikirim dari Bahrun Naim. Secara terpisah, pengamat terorisme Al Chaidar menyatakan, bermunculannya pasangan suami-istri dalam sebuah jaringan teroris dan bergerak bersama ini merupakan pola baru. "Tidak pernah ada sebelumnya dilakukan perempuan, bahkan suami- istri. Tapi, ini justru membawa pesan baru yang harus diantisipasi bahwa pasukan mereka itu bisa menjangkau semua dan mampu memanipulasi siapa pun. Ini yang ditakuti sebenarnya," ujarnya. (IAN/APA/SEM/BKY/EGI) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2016, di halaman 4 dengan judul "Bukan Pengalihan Isu". |
Kembali ke sebelumnya |