Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Pancasila, Pelindung dari Radikalisme
Tanggal 21 Desember 2016
Surat Kabar Kompas
Halaman 8
Kata Kunci
AKD - Komisi III
- Panitia Khusus
Isi Artikel Sejak era Al Qaeda hingga Negara Islam di Irak dan Suriah banyak orang bertanya, apa faktor seseorang teradikalisasi? Apakah ekonomi, pendidikan, atau pengaruh orang terdekat? Tiga pemicu tersebut bisa menjadi jawaban, tetapi faktor paling utama ialah ideologi. Dian Yulia Novi (27), bulan lalu hanyalah perempuan biasa. Tinggal di salah satu kamar di rumah kontrakan di Perumahan Bintara Jaya, Kota Bekasi, Jawa Barat. Masyarakat lingkungan di sekitar hanya tahu bahwa ia tengah menunggu panggilan kerja. Sebelumya, ia diketahui pernah menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Taiwan dan Singapura. Ketika masih menjadi TKW, selain bekerja, Dian juga gemar berselancar di dunia maya, terutama memperhatikan media sosial Facebook. Tidak hanya media sosial, sering kali ia membaca berbagai blog dan situs yang membahas kajian agama, salah satunya blog Millah Ibrahim yang memublikasi kajian agama dari terpidana terorisme, Aman Abdurahman. Dari sebuah grup diskusi para "mujahid" di Facebook, Dian berkenalan dengan Tutin Sugiarti alias Ummi Abszza (37). Kepada Tutin, Dian mengungkapkan keinginannya untuk melakukan amaliyah. Atas dasar itu, Tutin memperkenalkan Dian kepada M Nur Solihin (26) yang intens berhubungan dengan Bahrun Naim, lalu Solihin juga telah menerima perintah dari Bahrun Naim untuk menyiapkan aksi teror dengan "pengantin" seorang perempuan. Seusai berkonsultasi dengan istrinya, yaitu Arinda Putri Maharani (25), Solihin pun menikahi Dian meskipun belum pernah bertemu apalagi mengetahui wajah Dian. Mereka diperkenalkan Tutin dan aktif berkomunikasi melalui aplikasi pesan Telegram, tetapi keduanya tidak memasang foto diri di Telegram. Pernikahan pun dilakukan tanpa mengikuti fikih Islam, salah satunya tanpa dihadiri wali Dian, yakni bapak atau kerabat laki-laki Dian. Dalam perencanaan aksi teror, pada November lalu, Solihin bersama Dian mengontrak kamar indekos di Bekasi. Itu merupakan pertemuan ketiga mereka setelah menikah. Dian tinggal sendiri di kamar indekos itu karena Solihin kembali ke Karanganyar, Jawa Tengah, untuk menyiapkan bom panci yang akan diledakkan pada 11 Desember 2016. Empat orang tersebut merupakan bagian dari 14 teroris yang telah ditangkap tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian Negara RI dalam 10 hari terakhir. Terkait fenomena radikalisme yang dialami Dian, Direktur Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Jamhari Makruf menuturkan, TKW menjadi salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap radikalisme. Kondisi yang jauh dari Tanah Air dan bersinggungan dengan media sosial menjadi dua penyebab kelompok radikal memanfaatkan para TKI di luar negeri. "Ideologi untuk mendirikan negara Islam menjadi faktor dominan radikalisme berkembang di Indonesia. Karena itu, perlu peningkatan wawasan kebangsaan yang lebih baik dengan menguatkan Pancasila sebagai ideologi yang final bagi Indonesia," ujar Jamhari dalam program bincang Satu Meja bertema "Membongkar Jaringan Terorisme" di Kompas TV, Senin (19/12). Dalam acara yang dipandu Pemimpin Redaksi Kompas Budiman Tanuredjo itu, Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Brigadir Jenderal (Pol) Hamidin mengungkapkan, kelompok teroris memiliki pola perekrutan yang jelas. Alhasil, perekrutan perempuan untuk menjadi pengantin telah melalui hasil seleksi dan perempuan itu juga telah menjalani proses indoktrinasi. Budaya populer Mengapa penguatan Pancasila menjadi penting untuk "melawan" radikalisme? Hal itu tidak lepas dari propaganda di media sosial yang dilakukan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) dan sel jaringannya. Melalui media sosial, NIIS menyentuh lingkungan budaya populer di masyarakat sehingga dengan cepat menarik atensi masyarakat, terutama anak muda. Hamidin menambahkan, media sosial, terutama Facebook, yang telah menjadi budaya masyarakat, digunakan kelompok teroris untuk melakukan indoktrinasi. "Kalau dulu indoktrinasi dilakukan secara verbal, sekarang cara itu dikurangi. Sebagai gantinya, indoktrinasi dilakukan di media sosial dan justru semakin kuat," kata Hamidin. Kepala Bagian Mitra Biro Penerangan Masyarakat Polri Komisaris Besar Awi Setiyono mengatakan, media sosial menjadi lahan penyebaran radikal yang dilakukan Bahrun Naim. Melalui Facebook dan Telegram, Bahrun Naim berkomunikasi dengan Solihin untuk menyiapkan aksi teror dan membentuk sel teroris. Dalam buku ISIS Exposed (2015), Erick Stakelbeck menjelaskan, NIIS (ISIS) memanfaatkan produk-produk budaya populer untuk menyebarkan propaganda ke kalangan generasi muda. Ia mencontohkan, NIIS secara aktif melakukan propaganda di dunia maya dengan menyisipkan musik video hip hop, membuat joke kasar, memakai jaket dan sepatu Nike, membicarakan permainan video, hingga menyebarkan tagar topik favorit di Twitter. "NIIS ingin menjangkau generasi muda dan menunjukkan bahwa mereka bisa menikmati budaya Barat sekaligus tetap bisa menjadi jihadis," tulis Stakelbeck. Hanafi Rais, Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Anti Terorisme dari Fraksi PAN, mengatakan, pihaknya tengah mematangkan RUU Anti Terorisme yang diharapkan dapat menjawab tantangan terorisme pada masa mendatang, serta membantu aparat penegak hukum mengungkap jaringan teroris baru. Salah satu poin yang diantisipasi, tambahnya, ialah propaganda melalui media sosial, terutama upaya pencegahan kekerasan melalui pesan-pesan di media sosial. Pendidikan kebangsaan Lebih lanjut, Jamhari menegaskan, pendidikan kebangsaan perlu ditingkatkan. Ia berharap penguatan pemahaman dan implementasi Pancasila perlu dilakukan oleh semua pihak, mulai dari pemerintah di bidang pendidikan, organisasi kemasyarakatan Islam, dan tokoh-tokoh masyarakat. Secara khusus, ia menekankan, lembaga pendidikan harus mengembangkan ajaran Islam yang toleran dan moderat. Sebab, lembaga pendidikan memengaruhi pembentukan paham keagamaan di kalangan generasi muda. Berdasarkan penelitian PPIM UIN Syarif Hidayatullah pada Oktober 2016 bertajuk "Guru Agama, Toleransi, dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan Kontemporer di Indonesia", sebanyak 78 persen dari 175 responden kualitatif dan 330 responden kuantitatif setuju jika Pemerintah RI berdasarkan syariat Islam. Lalu sebanyak 77 persen dari para responden itu juga mendukung organisasi yang memperjuangkan syariat Islam ditegakkan di Tanah Air. Para responden adalah guru Pendidikan Agama Islam yang berasal dari 11 kabupaten/kota dari lima provinsi, yaitu Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Selatan. "Temuan itu menjadi lonceng bagi negara untuk segera membenahi pemahaman kebangsaan di lembaga pendidikan," ujar Jamhari. Akhirnya, perang negara melawan terorisme bukan sekadar menindak para anggota kelompok teroris. Paling utama, negara harus memastikan tidak ada anak bangsa yang ingin berpartisipasi dalam gerakan terorisme. Seperti penggalan lirik di awal tulisan yang menjadi kegelisahan vokalis grup punk, Green Day, Billie Joe Armstrong terkait membudayanya sikap anak muda yang memadukan perilaku kekerasan sekaligus narsisisme di media sosial. (MUHAMMAD IKHSAN MAHAR) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Desember 2016, di halaman 8 dengan judul "Pancasila, Pelindung dari Radikalisme".
  Kembali ke sebelumnya