Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Parfi Telah Kehilangan Daya Hidup
Tanggal 03 September 2016
Surat Kabar Suara Pembaruan
Halaman 3
Kata Kunci
AKD - Komisi X
Isi Artikel [JAKARTA] Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) belum bisa menjadi wadah bagi para artis untuk memperbaiki industri perfilman nasional. Bahkan, citra Parfi tercoreng setelah ketuanya, Gatot Brajamusti ditangkap aparat karena terlibat kasus narkoba. Keberadaan organisasi besar, seperti Parfi, sangat dibutuhkan para insan perfilman agar mereka memiliki posisi tawar yang besar dalam upaya memajukan industri film. Dari sisi jumlah, film Indonesia memang s e m a k i n m e n i n g k a t . Namun, secara kualitas masih kalah jauh dibandingkan film impor. Data 2014 menunjukkan, rata-rata penontong film impor sebanyak 6 juta orang/ bulan, sedangkan penonton film nasional hanya sekitar 1 juta/bulan. Parfi yang telah kehilangan daya hidup harus segera direformasi agar para seniman bisa meningkatkan kualitas film nasional. Dengan demikian, industri film nasional bisa memberikan sumbangsih yang besar bagi pertumbuhan ekonomi. Sutradara film Garin Nugroho mengatakan, politik perfilman di Indonesia telah gagal meski saat ini kreatifitas para sineas perfilman nasional tidak mati. Saat ini, era perfilman Indonesia sedang berusaha untuk bangkit setelah beberapa tahun lalu terpuruk. Namun, ujar Garin, kebangkitan film nasional itu tidak diimbangi dengan kehadiran organisasi yang baik. “Tidak ada organisasi yang hidup. Kalau pun hidup, mereka (para artis film, Red) membentuk kelompok -kelompok sendiri, tidak sebagai organisasi yang besar,” ujar Garin kepadaSPdi Jakarta, Jumat (2/9). Dikatakan, organisasi perfilman, seperti Parfi, memang ada secara fisik di Indonesia. Namun, Parfi sudah tidak lagi memiliki daya hidup di masyarakat film itu sendiri. “Jadi, organisasinya cuma formalitas. Jadi, masyarakat film saat ini sudah tidak memikirkan organisasi. Mereka hanya berpikir untuk terus berkarya di film saja,” ujarnya. Padahal, kata Garin, organisasi yang besar sebagai wadah bagi para Pekerja film sangat diperlukan. Selain untuk melindungi para insan perfilman, keberadaan organisasi besar dibutuhkan agar para pekerja film memiliki daya tawar yang tinggi untuk memperjuangkan kemajuan film nasional. “Di luar negeri, organisasi orang-orang film itu seperti organisasi buruh. Mereka mampu melindungi hak dan kewajiban para pekerja film. Itu yang paling penting. Namun, di Indonesia, kondisi seperti itu belum terwujud,” ujar Garin. Harus Ada Pengamat film Yan Widjaya mengatakan, sebagai organisasi perfilman tertua di Indonesia, Parfi masih sangat dibutuhkan oleh para aktor dan aktris film. Oleh karena itu, Parfi harus tetap dipertahankan keberadaannya, namun perlu direformasi. “Saya rasa, Parfi masih dibutuhkan dan harus ada. Karena, sesungguhnya organisasi itu kalau ada masalah bisa untuk melindungi anggotanya,” ujar Yan. Dikatakan, kehadiran Parfi yang berdiri pada 1956 telah banyak dirasakan manfaatnya bagi para pekerja film. Namun, ujar Yan, dalam beberapa tahun terakhir ini sepak terjang Parfi, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas dan kuantitas perfilman nasional, kian melempem. “Harus diakui saat kep e m i m p i n a n G a t o t Brajamusti, dalam beberapa periode terakhir ini, kiprah Parfi melempem dan kelihatanadem ayem saja,” ujarnya. Menurut Yan, sudah sepatutnya organisasi perfilman, seperti Parfi, diisi dan didukung oleh para pemain film yang dapat menyuarakan aspirasi sesama rekan artis film Indonesia. “Kalau dulu, untuk bisa menjadi anggota Parfi, harus sudah pernah main film beberapa kali. Dia juga harus membuktikan surat yang bertanda tangan sutradara dan produser. Kalau orang tanpa pengalaman film lalu mau menjadi anggota atau bahkan ketua, tidak bisa. Tapi, sekarang kok bisa?” katanya. Yan yang juga wartawan hiburan senior itu menyebutkan, Parfi di era 1970-an hingga 1980-an lebih terasa memiliki peran bagi perfilman Indonesia. “Saya mengalami era Sukarno M Noor memimpin Parfi. Mereka mengadakan banyak sekali penataran bagi para anggota. Semua anggota diberi pelatihan acting. Ini tentu baik bagi peningkatan kualitas perfilman nasional,” ujar Yan. Menurut data, jumlah film nasional belakangan ini memang kian meningkat. Sepanjang 2014, rata-rata film nasional yang beredar di bioskop sekitar 24 judul. Namun, jumlah penonton film nasional rata-rata per bulan sulit untuk menembus angka 1 juta orang. Jumlah itu masih kalah jauh dengan jumlah penonton film impor, yang ratarata mencapai 6 juta orang per bulan. Memang ada beberapa film Indonesia yang secara kualitas sangat baik, sehingga banyak ditonton. Namun, secara umum, kualitas film nasional masih butuh perbaikan. Menurut Yan, seharusnya Parfi berperan besar dalam upaya memperbaiki kualitas film nasional, seperti era 1970-an hingga 1980an. Saat ini, kalangan muda di dunia perfilman telah kehilangan kepercayaan terhadap Parfi. Mereka memilih untuk bergabung dalam Rumah Aktor Indonesia, yang saat ini dipimpin oleh aktor Lukman Sardi. “Padahal, Parfi ini seharusnya tetap ada dan hidup, karena dia organisasi perfilman tertua yang disahkan pemerintah. Saya rasa banyak sekali aktor muda sekarang yang belum menjadi anggota Parfi,” tuturnya. Budayawan Radha r Panca Dahana menilai, saat ini Parfi hampir tidak memiliki kontribusi terhadap industri perfilman Indonesia yang t engah bangk i t . “Hampir tidak ada kontribusinya. Sebab, Parfi hanya dilihat sebagai lembaga yang dimanfaatkan oleh pengurus dan ketuanya untuk kepentingan personal, baik untuk kepentingan politik maupun kepentingan ekonomi dan sosial,” ujar Radhar. Oleh karena itu, Radhar menyarankan agar Parfi direformasi. Para pimpinan dan anggotanya segera membersihkan diri terlebih dulu dari kontaminasi kepentingan yang bersifat personal. “Sudah seharusnya Parfi memurnikan diri sendiri, supaya sesuai dengan visi dan tujuan,” ujarnya. Radhar mencontohkan bagaimana para sineas film indie yang saat ini bangkit untuk berkarya dan tidak bergantung dengan pihak-pihak lain. “Mereka bangkit tanpa bantuan siapa pun. Mereka membersihkan diri dari kontaminasi dengan caranya. Mereka tidak masuk ke dalam organisasi seperti Parfi. Mereka dibantu dengan medium baru, yang namanya internet,” ujar Radhar. Meski demikian, dia berpandangan keberadaan organisasi besar seperti Parfi tetap diperlukan. Namun, ujarnya, Parfi harus merangkul para sineas perfilman yang murni ingin berkarya di bidang film, seperti para sineas film indie. “Seharusnya mereka (Parfi) memahami itu dan bergerak ke arah situ. Di film-film indie itu biasanya awal tumbuh bakat-bakat baru. Mereka juga turut memberikan peran bagi diplomasi budaya kita di luar negeri. Mereka mengikuti festival-festival film internasional. Mereka bukan direkrut, malah terkesan dijauhi,” ujar Radhar. [CAR/O-1]
  Kembali ke sebelumnya