Isi Artikel |
[JAKARTA] Banyak pihak mengeritik keputusan Partai Golkar menunjuk kembali Setya Novanto menjadi ketua DPR. Salah satu yang keras mengeritik adalah Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi).
Peneliti Formappi, Lucius Karus mengatakan, sejak rezim Orde Baru hingga masa reformasi, sejarah pergantian pucuk pimpinan DPR terjadi dua kali, hanya ada di periode DPR tahun 2014-2019.
Juru Bicara Partai Golkar, Nurul Arifin mengklarifikasi dengan mengatakan bahwa apa yang dikritisi Formappi sudah melalui prosedur dan aturan yang berlaku.
"Justru kita harus melihat ini sebagai sebuah catatan sejarah, agar tidak semena-mena dalam menggunakan kekuasaan," kata dia.
Nurul menjelaskan, Novanto korban dari kasus penyadapan ilegal yang jelas-jelas menyalahi undang-undang. Karena hanya aparat hukumlah yang dapat melakukan penyadpan.
"Dari perspektif saya pribadi, Pak Novanto mendapatkan haknya kembali dengan cara- cara yang sangat demokratis dan elegan. Ini pelajaran baik buat kita semua agar kejadian serupa tidak terjadi lagi di masa mendatang," katanya.
Namun bagi Peneliti Senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesis (LIPI), Ziti Zuhro, proses politik yang terjadi saat ini di Partai Golkar dan parlemen harus dibaca dari kacamata lain.
Partai Golkar, kata dia, sangat solid mendukung Setya Novanto kembali menduduki jabatan yang pernah ditinggalkannya yakni Ketua DPR.
Mengapa Golkar begitu solid saat ini? "Dengan Novanto kembali menjadi ketua DPR dan sekaligus ketua partai, maka itu dinilai sebagai langkah memperkuat dukungan kepada pemerintah," kata Siti Zuhro di Jakarta, Sabtu (24/12).Partai Golkar berharap Novanto bisa mengawal program Nawacita Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar sukses atau mulus hingga 2019.
"Karena siapapun presiden di Indonesia harus mendapat dukungan kuat dan luas dari siapapun untuk next election. Istana sangat yakin Setya Novanto bisa diharapkan untuk memuluskan langkah tersebut," kata dia.
Profesor riset itu lebih jauh mengatakan, terlepas dari pro kontra posisi Novanto saat ini, Partai Golkar sangat jeli membaca perkembangan politik terkini, walau banyak pihak menilai keputusan itu tidak beretika.
"Etika tidak dipertimbangkan secara saksama dalam riil politik, tetapi siapa melakukan apa, tentu akan mendapatkan apa," katanya.
Dalam konteks dukungan penuh Partai Golkar terhadap pemerintahan saat ini, bukan tidak mungkin Setya Novanto akan disiapkan menjadi calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Jokowi.
"Bukan tidak mungkin itu terjadi karena ada hubungan politik yang saling menguntungkan kedua pihak. Dan PDIP lagi-lagi lamban, ketinggalan kereta. Partai Golkar kini menjadi partai yang leading saat ini," kata dia. [PR/L-9]
|