Isi Artikel |
Pucuk pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kini resmi disandang Setya Novanto setelah menggantikan posisi Ade Komaruddin. Meski dilegalkan dalam mekanisme, pergantian antar-waktu di level atas pada November lalu sangat mengejutkan.
Apa yang sebenarnya terjadi? SINDO Weekly mencoba menelusuri sepak terjang politikus di Senayan terkait dengan ‘suksesi’ ini. Mulusnya perjalanan Setya ke pucuk pimpinan Dewan tentunya bukan “makan siang gratis”.
Dalam rapat paripurna penggantian Ketua Dewan itu, Aria Bima, juru bicara Fraksi PDI Perjuangan, meminta revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, atau yang kerap disingkat Undang-Undang MD3. Revisi Undang-Undang MD3 merupakan upaya PDI Perjuangan mendapatkan kursi pimpinan DPR. Revisi juga dinilai sebagai barter politik kembalinya Setya Novanto ke kursi Ketua DPR.
Bisa dimaklumi permintaan PDI Perjuangan ini mengingat partai kepala banteng pemenang Pemilu 2014 yang tidak mendapat kursi di jajaran pimpinan Dewan. Sebagai partai pemenang pemilu dengan jumlah kursi terbanyak di parlemen (109 kursi), Aria menilai, partainya pantas mendapatkan satu kursi pimpinan Dewan. "Revisi ini terkait representasi PDI Perjuangan selaku fraksi terbesar yang belum tercermin dalam komposisi pimpinan DPR," katanya.
|