Judul | Golkar: Kehadiran Kurang Elok MKD Tidak Perlakukan Berbeda Kasus Setya Novanto |
Tanggal | 09 September 2015 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 5 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Pimpinan - Mahkamah Kehormatan Dewan |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Fraksi Partai Golkar di DPR menyatakan, kehadiran kadernya, yaitu Ketua DPR Setya Novanto, pada jumpa pers politik bakal calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump, merupakan tindakan kurang elok. Hal itu terjadi karena masih minimnya pengalaman pimpinan DPR. Kompas/Heru Sri KumoroKetua Mahkamah Kehormatan Dewan Surahman Hidayat berbincang dengan Wakil Ketua Mahkamah Kehormatan Dewan Junimart Girsang (kanan) dan Hardisoesilo saat rapat di Kompleks Gedung Parlemen, Jakarta, Senin (7/9). Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan akan memanggil Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon terkait dengan kehadiran mereka saat konferensi pers bakal calon presiden Amerika dari Partai Republik, Donald Trump. Terkait dengan hal ini, Sekretaris Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo, Selasa (8/9), meminta maaf atas langkah Setya. Namun, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) tetap akan mengusut kehadiran Setya, Wakil Ketua DPR Fadli Zon, dan sejumlah pihak lain dalam jumpa pers politik Donald Trump pada Kamis pekan lalu di New York Amerika Serikat. Anggota MKD, Dadang S Muchtar, menjamin kasus ini tidak akan diperlakukan secara berbeda hanya karena melibatkan unsur pimpinan DPR. MKD akan memanggil Setya dan pihak lain yang ikut kunjungan ke AS, pekan depan. Saat ini, Setya dan Fadli Zon masih berada di AS untuk mengikuti kunjungan muhibah pimpinan DPR. Mereka dijadwalkan kembali ke Tanah Air pada 13 September mendatang. Kunjungan muhibah ini dilakukan setelah menghadiri Konferensi Dunia IV Pimpinan parlemen di New York pada 31 Agustus-2 September. Dalam kunjungan muhibah ini, rombongan DPR ke Los Angeles, San Francisco, dan Washington DC. Wakil Ketua Komisi I DPR Tantowi Yahya, yang ikut konferensi di AS dan juga hadir pada pertemuan dengan Donald Trump, kemarin sudah kembali beraktivitas di DPR. Di sela rapat kerja Komisi I dengan Kementerian Luar Negeri, dia menyatakan, MKD bebas memproses aduan terkait dengan kehadiran sejumlah anggota DPR di jumpa pers politik Donald Trump. "Tidak ada satu pun, termasuk Ketua (DPR), yang bisa menghalangi, itu hak anggota," katanya. Ia menuturkan, pertemuan dengan Trump diatur secara spontan saat rombongan berada di New York. DPR sama sekali tidak mengagendakan pertemuan itu sebelumnya. "Pertemuan 30 menit itu cair. Trump senang sekali, sampai ia bilang, "Hai, saya dalam waktu 10 menit ada konferensi pers. Kenapa tidak ikut bergabung di bawah?' Saya sebagai saksi sejarah," kata Tantowi. Masuk angin MKD diharapkan tidak masuk angin dalam menangani kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Setya dan Fadli Zon. Oleh karena itu MKD perlu mengonstruksikan jenis pelanggaran yang diduga mereka lakukan dan keterkaitannya dengan pasal-pasal dalam Peraturan Kode Etik DPR. "Kami khawatir MKD kesulitan menemukan dan mengaitkan pelanggaran dengan pasal-pasal Kode Etik DPR," kata Direktur Monitoring, Advokasi, dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Ronald Rofiandri. Guna mengonstruksikan jenis pelanggaran, MKD disarankan meminta pandangan para pakar hubungan internasional, pakar hukum internasional, atau pakar diplomasi. MKD dapat menanyakan apakah kehadiran unsur pimpinan DPR dalam jumpa pers politik Donald Trump diperbolehkan atau tidak. Pertanyaan itu muncul karena Pasal 69 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 219 Ayat 1 Peraturan Tata Tertib DPR menyatakan, anggota DPR dapat menjalankan fungsi diplomasi dengan syarat diplomasi dilakukan untuk mendukung politik luar negeri pemerintah. "Pertanyaannya, apakah langkah pimpinan DPR menemui Trump signifikan untuk mendukung politik luar negeri pemerintah atau malah sebaliknya?" kata Ronald. Praktisi hukum tata negara Irman Putra Sidin menuturkan, kehadiran Setya dan sejumlah rekannya dalam jumpa pers politik Donald Trump bukan semata benar atau salah, melainkan juga baik atau buruk, pantas atau tak pantas. (AGE/NTA) Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 September 2015, di halaman 2 dengan judul "Golkar: Kehadiran Kurang Elok". |
Kembali ke sebelumnya |