Judul | Menanti ”Gempa” dari MKD |
Tanggal | 16 Desember 2015 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 6 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Pimpinan - Mahkamah Kehormatan Dewan |
Isi Artikel | Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan tentang Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto bakal menentukan nasib dan eksistensi DPR. Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menurut rencana disampaikan Rabu ini akan menjadi ”gempa” politik tersendiri bagi DPR. Anggota MKD perlu mempertimbangkan, tingkat kepercayaan publik kepada DPR berada di titik paling rendah. MKD juga tidak bertaji menghadirkan saksi kunci, Muhammad Riza Chalid. Menurut jajak pendapat harian ini, 14 Desember lalu, hanya 9 persen responden yang memandang citra DPR positif. Amat memprihatinkan! Jajak pendapat ini juga menunjukkan, 78,1 persen responden berpendapat Ketua DPR Setya Novanto telah melanggar kode etik dan 82 persen memandang Novanto tidak layak memimpin DPR. Jajak pendapat ini sebenarnya hanya mengonfirmasi secara kuantitatif pandangan tokoh agama, seperti Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, dan rohaniwan Franz Magnis-Suseno. Warga dunia maya (netizen) juga menyuarakan hal serupa. Rakyat mengawasi wakilnya adalah hal yang seharusnya terjadi. Mereka bisa menjadi anggota DPR adalah karena suara dari rakyat itu sendiri, termasuk Novanto yang mendapatkan 85.818 suara dari daerah pemilihannya. Novanto empat kali menjadi anggota DPR. Untuk periode sekarang, dua kali dia menghadapi MKD untuk kasus Freeport dan pertemuannya dengan Donald Trump. Dalam persidangan tertutup yang dimintanya sendiri, Novanto tidak mengakui keabsahan rekaman. Dia pun merasa tidak bersalah. Bahkan, melalui pengacaranya, dia melaporkan media yang telah mencemarkan nama baiknya. Pembelaan Novanto sah dan wajar. Partai pendukungnya juga membela habis-habisan Novanto. Presiden Joko Widodo melalui Sekretaris Kabinet Pramono Anung berharap MKD mendengarkan suara rakyat. Suara rakyat jernih dan tidak punya kepentingan apa-apa. Namun, realitas politik juga menunjukkan, MKD adalah representasi kekuatan partai politik yang punya berbagai kepentingan. Vonis MKD yang seharusnya didasarkan pada pertimbangan etika dan kepantasan tampaknya bisa berubah menjadi pertarungan kuat-kuatan politik. Di sinilah sejarah akan mencatat siapa anggota MKD yang berada di sisi rakyat, siapa pula anggota MKD yang berseberangan dengan suara rakyat. Begitu juga dengan partai politik. Putusan MKD akan menunjukkan siapa partai politik yang menyuarakan suara rakyat dan siapa partai politik yang sebenarnya mengkhianati suara rakyat. Di tengah polarisasi pandangan itu, kita memandang elegan jika Novanto mundur dari jabatannya. Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 16 Desember 2015, di halaman 6 dengan judul "Menanti ”Gempa” dari MKD". |
Kembali ke sebelumnya |