Judul | Mahkamah Konspirasi Dewan (MKD) |
Tanggal | 16 Desember 2015 |
Surat Kabar | Media Indonesia |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Pimpinan - Mahkamah Kehormatan Dewan |
Isi Artikel | Melihat dagelan sidang MKD, harapan publik saat ini bergantung pada sisi penegakan hukum. Tidak ada yang bisa diharap dari sidang MKD. D I antara sekian pasal yang banyak mengalami per ubahan dalam UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), keberadaan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam Pasal 119 sampai Pasal 149 (30 pasal) UU MD3 menarik untuk didiskusikan. Sebagai salah satu alat kelengkapan dewan, badan yang satu ini mengalami `peningkatan derajat' dari `Badan Kehormatan (BK)' dalam UU MD sebelumnya (UU No 27 Tahun 2009) menjadi `Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD)' dalam UU No 17 Tahun 2014. Peningkatan derajat ini patut diapresiasi sebagai kesadaran dan ikhtiar pembentuk UU untuk lebih menjaga muruah dan kehormatan dewan dari laku menyimpang anggotanya, sekaligus memperkuat kewenangan MKD. Sebagaimana semangat pembentukan lembaga extra judicial pada wilayah kekuasaan lain semisal KY, Kompolnas, dan Komjak, MKD diharapkan mampu menjadi benteng kehormatan dewan, dengan menindak anggotanya yang melanggar kode etik serta pidana. Pasal 119 ayat (2) UU MD3 menyebutkan “Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.“ Tegak dan runtuhnya wibawa dewan ada di pundak MKD. Tidak cakap Namun tampaknya ibarat idiom `hukum hanyalah pasal dan undangundang,“ juga berlaku terhadap MKD.Kepercayaan dan besarnya kewenangan yang diberikan UU nyatanya tidak diimbangi dengan semangat anggota majelis MKD yang baru-baru ini men dapat gelar honoris causa `Yang Mulia.' Sehingga, mereka memperoleh dua gelar secara bersamaan, yakni `dewan yang terhormat,' serta `Yang Mulia'. Penelusuran penulis terhadap jabatan lain di republik ini tidak ada yang sekaliber itu. Bahkan, presiden yang perolehan suara dalam pilpres lebih besar dari anggota DPR terbesar suaranya, tidak diberikan gelar terhormat seperti itu. Entah apa dasar penyebutan `Yang Mulia'. Namun, sepertinya gelar ter sebut tidak sejalan dengan semangat yang ditunjukkan dalam sidang MKD terkait dengan pelanggaran kode etik Ketua DPR Setya Novanto (SN). Jika dilacak sedari awal, aroma konspirasi sudah tercium sejak si dang MKD dengan agenda mende ngarkan keterangan pelapor Menteri ESDM Sudirman Said (SS), serta sidang kedua yang menghadirkan saksi Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin (MS). Jalannya sidang bukan mencari kebenaran materiil, melainkan mempersoalkan remeh-temeh legal standing SS serta rekaman yang dianggap bukan alat bukti. Tata cara beracara MKD juga tak keruan. Mayoritas anggota MKD tak paham hukum acara, padahal ada beberapa yang berlatar belakang sebagai praktisi hukum. Soal legal standing, rekaman sebagai alat bukti, serta sidang terbuka atau tertutup seharusnya dibuat berita acara pene tapan terlebih dahulu, baru masuk ke pemeriksaan.tahapan agenda sidang pemeriksaan Itu untuk melindungi kebenaran materiil yang ingin dikejar. Jika tidak, hal ini akan menjadi alat debat kusir yang tak berujung dan mengaburkan substansi. Tampak jelas dari sidang mendengarkan kesaksian SS, beberapa anggota MKD yang mempersoalkan legal standing SS, justru ikut bertanya kepada SS. Secara tidak sadar, mereka telah mengakui SS memiliki legal standing. Pihak yang mempersoalkan legal standing SS tampaknya tidak cukup cerdas membaca Pasal 126 ayat (1) Huruf (c) UU MD3. Pasal tersebut menyebut bahwa pengaduan kepada MKD dapat disampaikan oleh: “....c) masyarakat secara perorangan atau kelompok terhadap anggota DPR, pimpinan DPR, atau pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya.“ Yang lupa dipahami oleh mereka ialah SS dalam kapasitas sebagai `pejabat negara' sekaligus `rakyat/masyarakat' yang ikut menggunakan hak politiknya untuk memilih pada Pileg 9 April 2014 lalu. Hak memilih (rights to vote) itu menjadikan `ikatan konstitusi' antara SS sebagai rakyat dan DPR sebagai `dewan perwakilan rakyat' sehingga SS memiliki legal standing untuk ikut menjaga muruah dan kehormatan DPR. Ketidakcakapan lain dilihat dari sidang dengan agenda mendengar kesaksian terlapor SN. MKD seolah disetir mengikuti kemauan terlapor agar sidang dilakukan secara tertutup. Berbeda dengan dua sidang sebelumnya (SS dan MS) yang dilakukan secara terbuka. Padahal, kewenangan untuk menentukan sidang dilakukan secara tertutup atau terbuka dimiliki oleh MKD, bukan terlapor atau pengadu. Memberikan pilihan kepada terlapor/terduga untuk mengatur sidang merupakan pelang garan terhadap hukum acara. Berharap pada hukum Melihat dagelan sidang MKD, harapan publik saat ini bergantung pada sisi penegakan hukum. Tidak ada yang bisa diharap dari sidang MKD. Sidang MKD telah antiklimaks, usai sebelum selesai. Pengusutan ka sus yang telah antiklimaks di MKD ini untuk menunjukkan bahwa prinsip persamaan di depan hukum berlaku bagi siapa saja. Hak privilege atau hak imunitas anggota DPR tidak berlaku di sini. Sepanjang melakukan tindak pidana, wajib untuk diusut. Apalagi, proses penegakan hu kum terhadap anggota DPR yang menyalahgunakan jabatannya tidak perlu lagi melalui izin tertulis dari MKD. Uji materi pasal 245 UU MD3 mengalihkan kewenangan memberi izin tertulis tersebut kepada Presiden. Kemarahan Presiden yang ditunjuk kan merupakan sinyal bagi Polri, Kejaksaan, dan KPK untuk mengusut kasus ini hingga tuntas. Pengusutan terhadap kasus ini merupakan ja minan bahwa `9 Agenda Prioritas' yang dikemas dalam program `Nawa Cita' Jokowi-JK bukan slogan. Poin keempat Nawa Cita tersebut adalah “Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan pe negakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya.“ Hukum mesti ditempatkan sebagai panglima, karena menoleransi kejahatan ialah kejahatan itu sendiri. |
Kembali ke sebelumnya |