Judul | PODIUM Jalan Tengah? |
Tanggal | 15 Desember 2015 |
Surat Kabar | Media Indonesia |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Pimpinan - Mahkamah Kehormatan Dewan |
Isi Artikel | SEORANG hakim bertanya dalam nada sete ngah berbisik, “Ke mana kasus Setya Novanto akan berakhir? Sejak kasus ini muncul, ia sudah menguras begitu banyak energi. DPR hasil pilihan kita dengan biaya amat mahal, kini hanya pantas menjadi olok-olok,“ katanya di tengah ramai obrolan seusai pengukuhan Wakil Ketua MA Bidang Yudisial, Mohammad Soleh, sebagai Guru Besar dalam Bidang Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Sabtu pekan silam. Saya menjawab tidak tahu. Selain bukan sang orakel politik dan hukum, memang tak tahu ke mana muara dari semua ini akan berakhir. Pemahaman saya normatif saja, bahwa etika di DPR dan hukum (jika memang terindikasi melanggar hukum) cepat diselesaikan. Agar tidak ada keadilan yang tertunda, seperti sebuah adagium, justice delayed is justice denied (keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak). “Saya seorang hakim. Tak memihak pada person, pada kelompok. Saya memihak kebenaran fakta. Jalan tengah harus diambil. Sebab, ini nuansa politiknya terlalu kental. Mahkamah dewan, bagaimanapun tak bisa bebas tanpa digelayuti politik dalam memproses Novanto. Bagaimana kalau mengambil jalan tengah, Setya Novanto dan Sudirman Said sama-sama mundur? Ini jalan tengah supaya tidak berdarah-darah,“ tanyanya lagi. Saya kian kaget. Kenapa seorang hakim mengusulkan jalan tengah di luar hukum? Menurutnya, dalam kasus Novanto jalan menuju hukum tidak mudah. Terlebih kalau akan buka-bukaan total, korbannya akan begitu banyak. Kalau begitu realitasnya, saya kira inilah momentum bersih-bersih. Siapa pun yang berdebu saatnya disapu. Kalau Novanto harus mundur, itu memang yang disuarakan banyak pihak. Novanto telah kehilangan kredibiltas dan legitimasi moral. Namun, Sudirman Said yang mengadukan dugaan pemufakatan jahat Novanto harus mundur? Saya kira tidak adil. Seorang kawan lama, yang amat objektif menilai pemerintahan Jokowi, mengirim pernyataan lewat grup Whatsapp, intinya mempertanyakan Sudirman Said dan Jusuf Kalla. “Lihatlah siapa yang sebenarnya mau perpanjang Freeport sebelum waktunya? Semua jadi terbuka. Surat SS (Sudirman Said) ke Presiden untuk perpanjang Freeport jauh sebelum tahun seharusnya. Sialnya surat itu dikembalikan ke RR (Rizal Ramli) yang menjadi menko. Sementara memo LBP (Luhut Binsar Pandjaitan) ke Presiden dua kali tidak untuk memperpanjang.... Baru saja JK (Jusuf Kalla) ngomong Freeport harus diperpanjang. Siapa yang mendukung Amerika?“ Kawan lain juga bertanya bernada mengingatkan, “Apakah semangat Kejaksaan Agung mengusut kasus Novanto murni spirit penegakan hukum? Jika memang untuk penegakan hukum, saya salut. Tapi kalau untuk kepentingan lain, saya jadi kian kalut.“ Saya menjawab santai saja, bahwa ini zaman serbaterbuka. Bahwa kemewahan kita sekarang ini adalah kita bisa menikmati hal ihwal menyangkut pemimpin publik tak di ruang tersembunyi. Maka, biarlah semua dibuka, agar kebenaran tak ke mana-mana. Boleh jadi, nanti akan ada solusi jalan tengah seperti diusulkan sang hakim, saya tak tahu. Namun, mari kita cermati dengan saksama, siapa yang bertopeng, siapa yang tanpa beban bicara `bermuka-muka'? Kebenaran memang sedang kita cari meski sebagian kita sudah tahu. Tapi, tak salah jika kita cermati lagi siapa Joko Widodo, Jusuf Kalla, Rizal Ramli, Luhut Pandjaitan, Sudirman Said, Setya Novanto, Maroef Sjamsoeddin, Mohammad Riza Khalid? Dalam `geng' mana mereka bersekutu? Menguak kebenaran memang kerap melelahkan, tetapi ia sehat untuk hari depan.Saya sungguh menunggu dengan segenap harapan. |
Kembali ke sebelumnya |