Judul | Ambivalensi Sidang |
Tanggal | 08 Desember 2015 |
Surat Kabar | Media Indonesia |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Pimpinan - Mahkamah Kehormatan Dewan |
Isi Artikel | MAAFKAN mengawali tulisan ini saya meme le setkan kredo Rene Descartes yang tersohor itu, “Aku berpikir, maka aku ada,“ menjadi “Aku berkelit dalam sidang tertutup, maka aku ada.“ Sidang etik tertu tup itulah yang diminta Ketua DPR Setya Novanto kepada MKD, kema rin.Pemimpin sidang Kahar Muzakir, yang namanya mencuat karena aksi gebrak meja awal pekan silam, sigap mengetuk palu bersetuju sidang diadakan tertutup. Kabarnya sebelum anggota lain sepakat. Apa pun dalihnya, MKD telah bermain mata. Ia tak menjaga kemuliaan seperti yang disandangnya. Pilihan sidang tertutup jelas maknanya.Segera terbaca di situ ada paradoks dan ambivalensi. Jika Novanto merasa telah diserang oleh media massa, ada pembunuhan karakter pula, mestinya ia mengambil posisi sidang yang sederajat dengan pihak pengadu yakni Menteri ESDM Sudirman Said yang meminta sidang terbuka. Langkah Sudirman kemudian juga diikuti Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin. Terbuka tanda siap bertanggung jawab kepada publik. Sidang tertutup tak hanya mengandung ambivalensi sikap, tapi juga memunculkan syak wasangka. Publik curiga ada bau busuk yang tengah ditutupi bahkan dikubur. Selain itu, tuduhan pada Novanto yang diduga meminta 20% saham Freeport dan 49% saham proyek pembangkit tenaga listrik Urumuka, Timika, Papua, pun tidak terklarifikasi secara seimbang. Bukankah secara nalar, ia perlu menjelaskan dengan cakupan publik yang sama seperti dalam dua sidang terdahulu? Boleh jadi, sebagai teradu yang berani muncul terbuka, akan lebih banyak lagi publik menaruh respek pada Novanto. Meskipun, lucunya, Novanto tidak menolak ada pertemuan dan percakapan itu. Yang ia tolak ialah legalitas merekamnya itu. Bukan faktanya. Memang sudah bisa diduga. Novanto akan berkelit. Haknya sebagai teradu meminta sidang tertutup. Juga haknya, meski ketika rekaman dugaan `papa minta saham' itu beredar, ia tak membantah pertemuan itu, tetapi dalam sidang ia berkeberatan rekaman itu sebagai alat bukti. Karena, menurut Novanto, rekaman itu dilakukan secara ilegal. Namun, apakah para hakim MKD akan menegasikan faktanya? “Jika itu direkam sesuai peraturan yang ber laku, saya pastikan akan memberikan komentar,“ kata Novanto dalam pembelaan pada sidang kemarin petang. Bahkan, media juga melaporkan tidak ada TV Parlemen yang mengabadikan sidang itu. “Saya tidak pernah menjadi pemburu rente. Saya mengusahakan iklim investasi yang terjamin,“ lanjut kader Golkar itu seperti diberitakan Metro TV. Biarlah ia membela diri meskipun begitu banyak percakapan yang sungguh tak pantas dilakukan seorang Ketua DPR. Biarlah ia mengemukakan sejuta dalih. Saya kira, jika Novanto berteguh apa yang ia lakukan tidak melanggar etika sebagai pembesar negara, betapa ia memang krisis kepantasan. Wajar jika ia juga tak merasa bersalah bertemu bakal calon presiden AS dari Partai Republik, Donald Trumph. Bukankah waktu itu ia kukuh apa yang ia lakukan untuk investasi? Alangkah mengerikan bangsa ini mempunyai Ketua DPR tidak tahu batas yang pantas dan yang culas. Pantaslah setahun ini telah dua kali Ketua DPR disidangkan MKD. Jika defisit etika ini tak berubah pada Novanto, hingga akhir jabatannya pada 2019, berapa pelanggaran lagi yang akan ia lakukan? Ambivalensi sidang tertutup itu sungguh telah menghina nalar publik.Novanto dan para pendukungnya seperti menganggap publik ada `di gerbong belakang' atau justru sama sekali tak ada. Atau mereka tengah menantangnya? |
Kembali ke sebelumnya |