Judul | Pragmatisme Pembentukan UU |
Tanggal | 23 Januari 2017 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 3 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Pimpinan - Badan Legislasi |
Isi Artikel | Ada yang menarik dari rencana revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) yang sekarang dikebut DPR. Salah satunya, lihat dari pelanggarannya terhadap tata cara pembentukan UU.Pasal 1 Ayat 1 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur materi yang harus dimasukkan dalam UU. Materi muatan yang harus diatur dengan UU itu adalah: (a) pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (b) perintah suatu UU untuk diatur dengan UU; (c) pengesahan perjanjian internasional tertentu; (d) tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK); dan/atau (e) pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Semangat DPR dan Presiden untuk merevisi UU secepat-cepatnya tentu baik. Hanya pertanyaannya, apa alasan merevisi UU MD3 jika hanya untuk menambah jumlah pimpinan, baik di DPR maupun MPR? Dari segi normatif rasanya sulit menemukan alasan seperti diatur dalam UU No 12/2011. Sebenarnya, menambah materi tentang pimpinan MPR dan DPR bisa saja dilakukan, asal argumentasi perubahannya didasarkan pasalan yang ada di UU No 12/2011 itu. Dari sisi idealisme, hukum atau UU yang baik—setidaknya menurut Gustav Radbruch—jika secara filosofis menjamin rasa keadilan, secara yuridis mengatur kepastian hukum, dan secara sosiologis membawa kemanfaatan bagi masyarakat. Memang menurut KC Wheare, hukum dibentuk berdasarkan kesepakatan atau resultante politik. Namun, jika kesepakatan keseluruhan fraksi DPR bersama pemerintah itu tak ada basis idealismenya, yang tampak kemudian tinggal praktik pragmatisme. Sangat mudah dibaca bahwa argumentasi revisi UU MD3 kali ini hanya untuk memenuhi kebutuhan sesaat yang ditopang kekuasaan partai-partai yang didukung oleh pemerintah. Maka, wajar kalau muncul suara di masyarakat bahwa DPRjika mengurus kepentingannya sendiri bisa begitu cepat, tetapi kalau membahas UU yang justru menjadi kebutuhan orang banyak bertele-tele, perlu waktu panjang. Salah satu contoh, revisi UU KUHP yang sudah beberapa periode DPR tidak kunjung selesai. Namanya UU MD3, selain MPR dan DPR, ada juga Dewan Perwakilan Daerah (DPD), selain DPRD yang seluruh pengaturannya sudah diambil alih dalam UU No 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi dengan UU No 2/2015 dan UU No 9/2015. Ada dua pekerjaan besar, yang tampaknya sengaja dibiarkan oleh DPR bersama pemerintah menyangkutrencana revisi UU MD3 ini. Pertama, menyangkut DPD, di mana sudah ada dua putusan MK yang seharusnya segera diakomodasi, seperti perintah UU No 12/2011. Kedua, memenuhi kebutuhan masyarakat atas kepastian hukum, seharusnya segera dilepas pasal tentang DPRD karena sebagian besar sudah diadopsi dalam UU No 23/2014 tentang Pemda sehingga seharusnya UU MD3 diperbaiki menjadi UU MD2. Mengabaikan putusan MA Putusan MK 92/PUU-X/2012, yang seharusnya menjadi materi wajib, sudah diabaikan dalam pembentukan UU No 17/2004. Putusan MK, antara lain, menegaskan, ”DPD memberikan penjelasan serta Presiden dan DPR menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD ”; ”DPD mengajukan Daftar Inventarisasi Masalah atas RUU yang berasal dari Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah”; dan lain-lain. Jangankan melaksanakan putusan MK yang dalam sistem ketatanegaraan Indonesia diakui sebagai final dan binding.Ketika ada peluang untuk menyempurnakan UU No 17/2014 menjadi UU No 42/2014, dengan alasan tergesa-gesa, yang dilakukan hanya mengubah Pasal 97 Ayat 2 mengenai komposisi pimpinan komisi, yakni terdiri dari 1 ketua dan 4 wakil, dari sebelumnya setiap komisi hanya memiliki 3 wakil. Selain itu, mengubah Pasal 104 Ayat 2 tentang komposisi pimpinan Baleg, Pasal 109 Ayat 2 tentang komposisi pimpinan Banggar, Pasal 115 Ayat 2 tentang komposisi pimpinan BKSAP, Pasal 121 Ayat 2 tentang komposisi pimpinan MKD. Apalagi pada saat pembahasan perubahanUU No 17/2014 MK juga telah mengeluarkan putusan barubernomor 79/PUU-XII/2014 yang, antara lain, memberi tafsir inkonstitusional bersyarat Pasal71 Huruf c, Pasal 166 Ayat 2, Pasal 250 Ayat 1, Pasal 277 Ayat 1 UU MD3 ini. Intinya, MK mempertegas keterlibatan wewenang DPD ketika mengajukan dan membahas RUU dengan sebuah naskah akademik terkait otda, pembentukan/pemekaran, pengelolaan SDA, dan kemandirian anggaran DPD. Jadi, dua keputusan MK, sudah dengan sengaja diabaikan DPR dan pemerintah. Ketika muncul peluang menyempurnakan UU MD3, kedua lembaga negara penyangga utama sistem supremasi konstitusi, ternyata mengulangi lagi melakukan pilihan pragmatis, mengubah UU sekadar untuk memuaskan keinginan bagi-bagi kekuasaan internal di lembaga sepenting DPRdan MPR. Yang agak aneh, kenapa pemerintah bersedia diajak melanggar UU demi kepentingan yang jauh dari idealistis ini. Pengabaian putusan MK yang melanggar UU No 12/2011 oleh DPR dan pemerintah itu bukan hanya berimplikasi lebih jauh pada Presiden, melainkan juga menzalimi hak DPD. Jika DPD tak terlibat dalam pembahasan UU ini, maka jika disahkan akan menjadi UU yang cacat prosedural. Logikanya akan dibatalkan MK, jika ada gugatan judicial review dari masyarakat. Di sisi lain juga bisaterjadi konflik antarlembaga negara, yang membutuhkan keputusan MK. Politisasi undang-undang Secara teoretis bisa dibaca, telah terjadi politisasi dalam pembuatan UU, pada kasus revisi UU MD3 kali ini. Politisasi hukum adalah rekayasa atau akal-akalan dalam pembuatan dan penegakan hukum karena tekanan kekuatan kekuasaan ataupun bisnis, yang mengakibatkan tujuan hukum yang ideal tak terwujud. Tujuan hukum yang baik adalah menciptakan hukum yang adil, berkepastian, dan bermanfaat untuk orang banyak. Menurut teori Nonet dan Selznick, hukum responsif yang dibutuhkan rakyat umumnyatak akan bisa diwujudkan jika kultur hukum yang demokratis tak bisa diciptakan. Hukum akan gagal memotret cita-cita idealistis dari warga negara, tetapi hanya mengekspresikan kepentingan kekuasaan dan bisnis yang berperan sebagai kelompok penekan. Politisasi hukum bisa dihindarkan jika pembuat UU yang mendapat amanah rakyat bisa mengesampingkan kepentingan pragmatisnya dan mengutamakan idealisme berdasarkan kepentingan yang lebih besar. Pengawalan idealisme dalam pembentukan UU juga bisa dilakukan masyarakat sipil yang punya kemampuan membaca tata cara proses legislasi. Selain itu, kontrol juga bisa dilakukan para akademisi dengan menyampaikan pertimbangan dan perbandingan teoretis ataupun filsafati. Perbandingan dengan apa yang berlaku di negara lain. Atau mengingatkan perlunya konsistensi antara hukum positif yang dibentuk para wakil rakyat bersama pemerintah dan falsafah negara Pancasila yangselalu menjadi rujukan pembentukan hukum. Benteng terakhir, jika UU yang tidak aspiratif tersebut lolos di DPR, adalah MK. Dalam pertemuan terbatas dengan Presiden Joko Widodo belum lama ini di Istana Negara, pimpinan DPD telah meminta perhatian dan bantuan Presiden agar momentum revisi UU MD3 ini sekaligus dimanfaatkan oleh DPR dan Presiden untuk melunaskan tugas konstitusionalnya, yakni menindaklanjuti putusan MK. Memang masih ada alternatif lain untuk memperkuat posisi DPD, antara lain dengan melakukan penyempurnaan UUD 1945, sesuai dengan rekomendasi dalam Ketetapan IV/MPR/2014. Penataan atau penguatan DPD oleh ketetapan ini diposisikan sebagai bagian dari penataan sistem ketatanegaraan, agar lebih efektif dan produktif dalam mewujudkan tujuan negara, yakni menyejahterakan rakyat. Penguatan peranan DPD akan sangat signifikan pengaruhnya dalam perwujudan kesejahteraan rakyat ataupun martabat komunitas di daerah. Di luar itu, ada juga alternatif penjajakan penyusunan UU terpisah. UUD 1945 memang memerintahkan agar lembaga seperti MPR, DPR, dan DPD diatur ”dengan” UU. Kata ”dengan” berarti diatur menggunakan UU yang mandiri. Berbeda jika diatur ”dalam” UU, bisa secara bersama-sama diatur dalam satu UU. Pertimbangan lain, semua lembaga negara lainnya, seperti BPK, MA, MK, bahkan Komisi Yudisial, juga diatur dalam UU tersendiri, sehingga tak ada alasan menolak, jika setiap lembaga seperti MPR, DPR, dan DPD tersebut diatur dalam UU terpisah. Namun, kasus revisi UU MD3 bukan sekadar soal DPD, melainkan juga soal kepatuhan DPR dan pemerintah terhadap putusan MK. Pada revisi tahun 2014, alasan tergesa-gesa menjadi pertimbangan dan Baleg saat itu menjanjikan usulan soal DPD akan ditampung dalam kesempatan revisi berikutnya. Kenyataannya, sekarang kelihatannya akan dilewatkan lagi. Bambang Sadono, Anggota DPD dari Jawa Tengah dan Dosen Magister Hukum Universitas Semarang Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Januari 2017, di halaman 6 dengan judul "Pragmatisme Pembentukan UU". |
Kembali ke sebelumnya |