Judul | Pemerintah Diminta Tolak Revisi UUASN |
Tanggal | 25 Januari 2017 |
Surat Kabar | Suara Pembaruan |
Halaman | 6 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi II - Komisi III - Badan Legislasi |
Isi Artikel | [ JAKARTA ] Kom i s i Aparatur Sipil Negara (KASN) berharap agar pemerintah menolak revisi Undang-Undang (UU) No 5 / 2014 t en t ang ASN. Sebab, KASN berpeluang dibubarkan dengan adanya revisi tersebut. “Mudah-mudahan pemerintah tidak menerima usulan revisi dari DPR itu karena pemerintah punya hak veto menolak revisi undang - undang . Mudahmudahan pemerintah di bawah pimpinan Presiden (Presiden Joko Widodo) menolak itu,” kata Ketua KASN Sofyan Effendi, di Kantor Staf Presiden (KSP), Jakarta, Selasa (24/1). Dia mengemukakan, salah satu tujuan revisi yakni membuka jabatan pegawai pemerintahan terhadap pegawai honorer. Jumlahnya, mencapai 1,2 juta pegawai. Diungkapkan, pegawai honorer bakal masuk tanpa seleksi dan diikat dengan perjanjian kerja. Akibatnya, terjadi penurunan mutu ASN. Pada kesempatan yang sama, Kepala KSP Teten Masduki mengatakan, banyak pihak yang masih belum memahami UU ASN. Ka r e n a ny a , p i h a kny a menggelar diskusi dengan KASN. “Kita mendiskusikan ini karena banyak yang tidak memahami atau memiliki pemahaman keliru tentang UU ASN,” kata Teten. Menurutnya, peringkat atau indeks efektivitas pemerintah Indonesia dibanding dengan negara Asia lain masih sangat rendah. “Itu karena mesin penggerak birokrasi kita belum menjalankan tugas secara maksimal,” ujarnya. Dia menyatakan, UU ASN tetap diperlukan agar tercipta birokrasi yang profesional, melayani dan efisien. Diungkapkan, UU ASN membutuhkan tujuh peraturan pemerintah (PP). “Dari tujuh PP, baru satu yang selesai yaitu meny a ngku t PP t en t a ng Pensiun,” ucapnya. Terdapat enam PP yang masih dalam proses yakni terkait Manajemen PNS, Penilaian Kinerja PNS, D i s i p l i n , Ma n a j eme n Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K), soal Korps ASN dan m e n g e n a i G a j i d a n Tunjangan. “Selain perlu penyelesaian penyusunan PP, juga perlu pengawasan yang terus-menerus kepada seluruh jajaran ASN,” ujar Teten. Praktik Praktik jual beli jabatan bakal tumbuh subur jika UU ASN direvisi. Sofyan mengatakan, sekitar Rp40 triliun uang berputar dari praktik itu. Sebab, terdapat 30.586 jabatan pimpinan tinggi, 97.817 jabatan administrator, dan 314.879 jabatan pengawas yang ada di daerah. “It’s a big money (ini uang jumlah besar). Pastilah ada sebagain uang itu mengalir juga kepada pembuat kebijakan ini di Senayan,” katanya. Dia menuturkan, asosiasi pemerintah daerah juga mengajukan usulan revisi. “Pemerintah daerah ini yang akan kehilangan 'ATM'-nya ini. Dia bekerja sama dengan DPR untuk menghilangkan pengawasan sistem merit dan lembaga yang melaksanakan pengawasan sistem merit,” ujarnya. Dia mengemukakan, tarif jual-beli jabatan sangat beragam. Misalnya, eselon I level sekretaris daerah, tarifnya menembus Rp 1 miliar, Rp 5 miliar, atau bahkan Rp 6 miliar. Sedangkan eselon II antara Rp 80 juta dan Rp 400 juta. “Rp 400 juta itu adalah untuk dinas pendidikan, dinas pekerjaan umum, dinas kesehatan, dinas-dinas yang besar anggarannya,” ungkapnya. Sementara jabatan kepala sekolah dasar (SD) dihargai Rp 125 juta, jabatan tata usaha (TU) SD dihargai Rp 30 juta, dan jabatan kepala SMP dihargai Rp 80150 juta. Sedangkan jabatan kepala puskesmas dibanderol Rp 10-15 juta. Selain itu, menurutnya, ada pula harga agar pejabat tidak dimutasi. RUU MD3 Sementara itu, rapat paripurna DPR menyetujui pengesahan revisi terbatas UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi draf RUU yang diusulkan oleh DPR RI. Dalam rapat paripurna yang dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah itu, keputusan diambil cepat dengan semua fraksi hanya menyerahkan pandangan tertulis tanpa membacakannya. Oleh Fahri Hamzah, persetujuan pengesahan pengajuan RUU itu dimintakan kepada anggota dewan yang hadir. "Apakah RUU usul inisiatif anggota DPR RI tentang perubahan kedua atas UU 17/2014 tentang MD3 dapat disetujui dengan rancangan UU usul DPR RI?" tanya Fahri. Oleh para anggota dewan yang mengikuti sidang dijawab 'setuju', dan dilanjutkan dengan pengetukan palu sidang tanda persetujuan sudah diambil. Walau demikian, sempat ada interupsi dari Fraksi PKB, yang mendorong agar revisi UU itu, yang bertujuan menambah jumlah kursi pimpinan DPR, memperhatikan prinsip kolektif kolegial. Revisi UU harus memastikan jumlah kursi pimpinan DPR berjumlah ganjil. Apabila hanya ditambah satu kursi seperti wacana selama ini, jumlah total kursi pimpinan adalah enam, alias angka genap. PKB memang menyasar ditambah satu kursi agar mempertahankan angka ganjil, menjadi tujuh kursi, dimana kursi itu jatah mereka. Fahri menjawab interupsi itu dengan mengatakan pembahasan tentang itu akan dilakukan di Badan Legislasi DPR. Ketua Komisi II DPR, Zainuddin Amali menilai bahwa sebaiknya semua fraksi kembali kepada kesepakatan awal. Bahwa penambahan kursi pimpinan DPR hanyalah untuk Fraksi PDI-P, pemenang pemilu yang harus diakomodasi di jajaran pimpinan dewan. [MJS/C-6] |
Kembali ke sebelumnya |