Judul | Hapus Parliamentary Threshold, Parlemen kian Gaduh |
Tanggal | 16 Januari 2017 |
Surat Kabar | Suara Pembaruan |
Halaman | 4 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi II - Komisi III - Badan Legislasi |
Isi Artikel | [JAKARTA] Ambang batas partai politik (parpol) masuk parlemen atauparliamentary threshold (PT) jangan dihapus. Sebab, apabila PT 0%, maka jumlah parpol di DPR menjadi sangat banyak. Demikian disampaikan pengamat politik Karyono Wibowo, kepada SP, Senin (16/1). “PT itu harus tetap ada, karena penting untuk membatasi jumlah parpol di DPR. Kalau dihapus, enggak ada batasan, pasti jumlah parpol makin banyak, kian gaduh” kata Karyono. Dengan banyaknya parpol nanti di DPR, menurutnya, proses pengambilan keputusan juga penuh dinamika. “Sulit sebuah kebijakan diputuskan dengan cepat,” ujarnya. Dia justru mendukung agar PT ditingkatkan. Dia mengusulkan angka PT sebesar 5%. “Bukan diturunkan, apalagi dihapuskan. Tidak masuk akal menghapus PT. PT ideal menurut saya 5%,” ucapnya. Diamenambahkan, parpol di DPR bakal terseleksi alamiah jika PTnaik. “Jumlah partai di DPR bisa sekitar 5-7 partai. Zaman Orba (Orde Baru) tiga partai, memang faktanya pemerintahan cenderung stabil. Stabilitas politik terjadi saat itu,” imbuh Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute ini. Sekadar diketahui, berdasarkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) P e n y e l e n g g a r a a n Pemilu,pemerintah memang mengusulkan angka PT tetap 3,5%. Namun, sejumlah fraksi seperti Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) mengusulkan PT dihapus. Gerindra meminta agar diatur pembatasan fraksi. Tak Relevan Sebelumnya, Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Lukman Edymengungkapkan bahwaPresidential Threshold (Pres-T) tidak relevan lagi ketika pelaksanaan pemilu serentak seperti 2019. Bahkan, kata Lukman dalam pembahasan RUUPemilu di Pansus, sebagian besar fraksi menginginkan Pres-T ditiadakan pada Pemilu Serentak 2019 mendatang. "Keserentakan menyebabkanpresidential threshold tidak relevan lagi jika digunakan pada Pemilu Serentak 2019 mendatang,” ujar Lukman Edy, di acara diskusi bertajukRUU Pemilu dan Pertaruhan Demokrasi, di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (14/1). Selain Edy, hadir juga sebagai narasumber, antara lain Wakil Ketua Komisi II Fraksi GerindraAhmad Riza Patria, Anggota Komisi II dari Fraksi PDI-P Arteria Dahlan, Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, dan Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis. Lukman juga menilai, penerapan Pres-T tidak konstitusional. Sebab, dalam draf RUU Pemilu yang dibuat pemerintah acuan threshold adalah Pemilu 2014. “Itu berimplikasi melanggar konsitusi karena masa hasil pemilu 2014 menghasilkan dua presiden? Presiden 2014 hasilkan Presiden 2014-2019, Presiden 2019 hasilkan 2019-2024. Berapapun threshold-nya, mau 5%, 10% atau seperti draf pemerintah, 20 sampai 25%,” katanya. Lebih lanjut, dia mengatakan, banyak fraksi menolak Pres-T karena penerapan thresholdbisa menimbulkan kutil effect. Artinya, suara partai-partai menengah dan kecil bisa tergerus ketika kampanye presiden yang didukung oleh parpol besar. "Misalnya, si Adidukung partai besar kemudian parpol kecil ikut untuk memenuhi 20 atau 25%. Maka, orang kemudian berpikir begini, sama saja kita memilih presiden berarti memilih partai besar. Partai menengah dan kecil hanya mengikuti saja. Kekhawatiran tergerus suara parpol memengah dan kecil ini kemudian mengonsolidasi parpol di parlemen sehingga ada yang mengusulkan threshold-nya 0%,” katanya. Siap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay mengatakan, pihaknya siap menjalankan apapun hasil pembahasan RUU Pemilu, termasuk jika ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold ditiadakan. "Kami siapmelaksanakan, apapun sistemnya termasuk jika presidential threshold ditiadakan,” ujar Hadar dalam diskusi bertajukRUU Pemilu dan Pertaruhan Demokrasi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (14/1). Hadar menilai, sebetulnya presidential threshold dan parliamentary threshold0% atau ditiadakan memiliki dampak positif. Sebab, akan memberikan banyak alternatif kepada pemilih dan aspirasi masyarakat bisa terwakili dengan banyaknya calon legislatif atau calon presiden. "Tentunya, semakin banyak calon, maka semakin menguntungkanpemilihuntuk memilih berbagai alternatif," tandas dia. Meskipun demikian, Hadar mengakui bahwa banyak calon baik legislatif maupun presiden yang maju bisa membingunkan masyarakat pemilih. Apalagi, jika memasuki tahapan kampanye dan pencoblosan. "Karena itu perlu ditata rapi agar tidakmembingunkan masyarakat," kata dia. [YUS/C-6} |
Kembali ke sebelumnya |