Judul | Pengawas Pemilu Daerah Tak Perlu Permanen: RUU Penyelenggaraan Pemilu BelumTeguhkan Kekuatan Pemilih |
Tanggal | 03 Januari 2017 |
Surat Kabar | Suara Pembaruan |
Halaman | 4 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi II - Badan Legislasi |
Isi Artikel | [ JAKARTA] Anggo t a Pansus RUU Pemilu dari F-PPPAchmad Baidowi alias Awiek mengatakan PPP keberatan dengan rencana pemerintah membuat lembaga panwaslu permanen di kabupaten atau kota yang diatur dalam draft RUU penyelenggaran pemilu. “Sebab, kami belum melihat urgensi untuk mempermanenkan panwaslu kabupaten/kota. sebab, fungsi panwaslu hanya dibutuhkan ketika pemilu maupun pilkada,” ujar Awiek di Jakarta, Senin (2/1). Sementara sepanjang hari di luar momen tersebut, kata dia nyaris tidak ada tugas yang berkaitan dengan panwaslu. jika pun ada persoalan pemilu, bukankah sudah ada bawaslu provinsi yang sudah permanen. “Selama hampir lima tahun dibentuk, Bawaslu provinsi pun tidak setiap hari bekerja,” tandas dia. Selain itu, kataAwiek rencana mempermanenkan panwaslu hanyalah buang-buang anggaran. Jika dihitung, kata dia jumlah kabupaten/kota se-Indonesia sebanyak 524. “Jika jumlah panwaslu tiap kabupaten/kota sebanyak 3 orang, maka dibutuhkan 1.572 personel panwaslu yang digaji tiap bulan selama lima tahun tidak terputus. Belum lagi kantor sekretariat maupun honor pegawai yang tentu saja menyedot anggaran negara,” katanya. Sistem Pemilu Sementara itu,Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilu untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz menilai, RUU Pemilu yang menjadi payung hukum pemilu serentak 2019 belum meneguhkan kekuatan pemilih. Hal ini, kata dia, tercermin dalam sistem pemilu yang digunakan apakah semakin meneguhkan kekuatan pemilih dalamproses pengambilan keputusan atau sebaliknya. “Kerakyatan Pemilu dalamRUUPenyelenggaraan Pemilu dapat diukur dengan pilihan sistem pemilu yang disajikan dalam rancangan tersebut; apakah semakin meneguhkan kekuatan pemilih dalam proses pengambilan keputusan atau sebaliknya,” ujar Koordinator Nasional JPPR Masykurudin Hafidz dalam acara bertajuk “Refleksi Akhir Tahun, Kerakyatan dalam Pemilu” di Jakarta, Sabtu (31/12). Dalam acara tersebut, hadir juga Fatayat Nahdlatul Ulama Siti Khofifah, Dikti Muhammadiyah Yusfitriadi, HumasPGI JeirrySumampow, dan Dosen UIN Syarif HidayatullahM.Afifuddin. Masykurudin menilai, dengan memperhatikan subtansi RUU tersebut maka ibarat memperbaiki rumah, renovasi yang dilakukan belum mendasarkan dari kerusakan yang ada. Dia mencontohkan perihal sistem Pemilu. “Dalam sistem Pemilu yang diajukan, RUU menyebutkan pemilu legislatif dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas. Yaitu, menggunakan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik,” ungkap dia. Dia juga mengatakan, elemen sistem pemilu lainnya dalam RUU tersebut me- nyebutkan, jumlah kursi yang diperebutkan sebanyak 560 dibagi dalam 78 daerah pemilihan dengan alokasi 310 kursi. Metode konversi suara menggunakan sainte lague modifikasi di mana suara parpol dibagi pembilang 1,4; 3; 5; 7 dan seterusnya. Ambang batas perwakilan sebesar 3,5% untuk DPR. “Perubahan paling signifikan terjadi pada metode pemberian suara dan penentuan calon terpilih. Meskipun terdapat daftar calon, tetapi pemilih mencoblos gambar atau nomor urut partai. Perolehan siapa yang mendapatkan kursi berdasarkan berdasarkan nomor urut,” katanya. Ketentuan tersebut, kata Masykurudin, seperti menjadi jalan tengah antara proporsional terbuka terbanyak dengan proporsional tertutup nomor urut. Akan tetapi, jika diperhatikan lebih lanjut, sistem ini tak ubahnya proporsional tertutup nomor urut. “Terbuka terbatas secara subtansial sesungguhnya tertutup. Seakan-akan terbuka, padahal tertutup. Kedaulatan pemilih dibuat seakan-akan partisipatoris. Jalan tengah yang diambil (terbuka terbatas) tetap membuat kehendak mayoritas pemilih terhalangi,” katanya. Selain sesungguhnya tertutup, kata Masykurudin, pilihan sistem pemilu terbuka terbatas juga tidak menjawab persoalan yang selama ini kita alami. Problem mendasar dalam sistem proporsional terbuka suara terbanyak yang menyebabkan partai politik lemah dan meningkatkan politik transaksional jawabannya bukan dengan mengubah sistem tetapi dengan penegakan hukum yang kuat, efektif dan berwibawa serta prosedur pencalonan yang lebih baik. “Ketentuan sistem Pemilu ini harus benar-benar menjadi perhatian DPR, selain untuk perbaikan Pemilu mendatang juga terkait nasib partai politik itu sendiri. Sesungguhnya, yang dibutuhkan adalah mempertahankan sistem proporsional terbuka suara terbanyak, mewujudkan sistem penegakan hukum yang kuat serta mengatur proses pencalonan untuk membangun soliditas kepartaian maka harapan publik untuk mendapatkan proses Pemilu yang lebih adil dan berkualitas semakin terwujud,” jelas dia. [YUS/ MJS/W-12] |
Kembali ke sebelumnya |