Judul | BI Kembali Longgarkan:Kebijakan Moneter Suku Bunga Acuan 6,5 Persen |
Tanggal | 17 Juni 2016 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 19 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi XI - Badan Anggaran |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Bank Indonesia kembali melonggarkan kebijakan moneter dan makroprudensial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Langkah ini diharapkan menggerakkan sektor perbankan, mendorong konsumsi masyarakat, dan meningkatkan pertumbuhan kredit. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 15-16 Juni 2016 memutuskan menurunkan suku bunga acuan BI atau BI Rate 25 basis poin (bps) menjadi 6,5 persen. Suku bunga penempatan dana bank di BI (deposit facility) turun 25 bps menjadi 4,5 persen dan suku bunga penyediaan dana rupiah dari BI kepada bank (lending facility) turun 25 bps menjadi 7 persen. Di bidang makroprudensial, BI merelaksasi ketentuan rasio kredit terhadap nilai agunan (LTV) dan rasio pembiayaan terhadap nilai agunan (FTV) untuk pembelian rumah tapak, rumah susun, dan rumah toko. Pelonggaran kredit dilakukan melalui mekanisme inden dengan pengaturan pencairan kredit bertahap sesuai dengan progres pembangunan ketiga jenis properti itu. Selain itu, BI menaikkan batas bawah rasio pembiayaan terhadap pendanaan terkait giro wajib minimum (GWM-LFR) dari 78 persen menjadi 80 persen. Namun, batas atas GWM-LFR tetap 92 persen. Ketentuan di bidang makroprudensial mulai berlaku pada Agustus 2016. Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Juda Agung, di Jakarta, Kamis (16/6), mengatakan, keputusan BI melonggarkan kebijakan tersebut untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. BI memperkirakan, pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2016 sedikit rendah dari perkiraan sebelumnya. BI memprediksi ekonomi triwulan II-2016 sebesar 4,95 persen. Realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan I-2016 sebesar 4,92 persen. "Kami melihat pertumbuhan ritel ada perbaikan, tetapi belum kuat. Investasi swasta juga masih lemah. Begitu juga dari sisi konsumsi rumah tangga yang akan sedikit terdorong pada Ramadhan dan Idul Fitri," katanya. Adapun tujuan pelonggaran kebijakan makroprudensial, lanjut Juda, untuk mendorong permintaan kredit, salah satunya di sektor properti. BI melihat, properti merupakan sektor yang menggerakkan sektor ekonomi lain, seperti konstruksi, industri, dan jasa. "BI berharap pertumbuhan kredit tahun ini tetap sesuai target, yaitu 10-12 persen," katanya. Terjaga Secara terpisah, Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan mengatakan, pertumbuhan ekonomi tahun ini cenderung masih stagnan. Sejumlah indikator menunjukkan kondisi perekonomian yang masih lemah, di antaranya permintaan kendaraan bermotor, semen, dan kredit masih rendah. Selain itu, pertumbuhan ritel lambat, inflasi pangan masih tinggi, dan investasi swasta cenderung turun. "Saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 5 persen atau sedikit di bawah 5 persen," ujarnya. Anton menambahkan, dengan menurunkan BI Rate, setidaknya BI dapat mengetes pasar. Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Tirta Segara mengatakan, sistem keuangan tetap stabil dengan ketahanan sistem perbankan yang terjaga. Pada April 2016, rasio kecukupan modal (CAR) 21,7 persen. Adapun rasio kredit bermasalah (NPL) gross 2,9 persen. NPL gross mencatat kredit berstatus kurang lancar, diragukan, dan macet. Transmisi pelonggaran kebijakan moneter melalui jalur suku bunga juga terus berlangsung. Hal ini tampak dari penurunan suku bunga perbankan yang berlanjut. Akan tetapi, Tirta mengakui, transmisi melalui jalur kredit masih belum optimal. Per April 2016, kredit tumbuh 8 persen dalam setahun. (HEN) |
Kembali ke sebelumnya |