Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Polri perlu segera mengungkap perkembangan jaringan Jamaah Ansharut Daulah di Jawa Barat. Pasalnya, menurut pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail, sel kelompok teroris itu cenderung lebih cepat berkembang di Jawa Barat.
Sel Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Jabar merupakan pelaku bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta, Rabu pekan lalu. Aksi ini membuat lima orang meninggal, yaitu tiga polisi dan dua anggota JAD yang jadi pelaku bom bunuh diri, Ichwan Nurul Salam dan Ahmad Sukri.
Sebelumnya, JAD juga merencanakan teror ke pos polisi simpang lima Senen, Jakarta Pusat. Namun, polisi menggagalkan aksi itu dan menangkap sebagian pelakunya di kawasan Waduk Jatiluhur pada Desember 2016. Februari lalu, Polisi juga menembak mati anggota JAD, Yayat Cahdiyat, di Cicendo, Bandung.
Menurut Huda, sel JAD di Jabar punya keunggulan dibandingkan sel-sel JAD di daerah lain, seperti Jawa Tengah, Batam (Kepulauan Riau), Kalimantan, Sumatera, dan Sulawesi. Sebab, di Jabar ada sejumlah sel-sel kelompok teroris tertidur yang bisa kapan saja dibangkitkan.
“Keuntungan JAD di Jabar karena sebaran pendukung lebih banyak. Kelompok teroris cukup menggeser narasi Darul Islam ke narasi khilafah untuk mendapat dukungan dari sel-sel kelompok radikal yang tersedia di Jabar,” ujar Huda, Minggu (28/5), saat dihubungi dari Jakarta.
Kelompok berafiliasi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Jabar, lanjut Huda, juga berkomunikasi lebih intim dan intens. Ini terjadi karena mereka terus melakukan pelatihan militer secara informal yang dilakukan dari rumah ke rumah. Alhasil, sel JAD Jabar cenderung lebih cepat mengalami peningkatan, salah satunya pembuatan bom panci.
“Jakarta jelas jadi sasaran mereka (JAD) karena ‘panggung’ yang lebih besar. Oleh karena itu, kalau jaringan JAD ini tidak segera diredam, mereka akan masuk Jakarta dan berpotensi menargetkan serangan ke tempat yang lebih strategis,” katanya.
Terkait hal ini, pemerhati terorisme dari Universitas Indonesia, Ridwan Habib, mengingatkan perlunya aturan yang membolehkan polisi menangkap orang yang melakukan persiapan untuk aksi teror. Ketentuan itu diharapkan ada dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang kini sedang dibahas DPR dan pemerintah.
“Selama ini aturan yang ada kurang tegas. Aturan tidak cukup kuat menahan mereka yang terindikasi akan melakukan aksi teror. Ironisnya, dalam sejumlah kasus, setelah mereka yang terindikasi ini dibebaskan, mereka kembali ke jaringannya dan kemudian melakukan aksi teror,” tambahnya. Ia berharap revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 itu dapat segera diselesaikan.
Meski demikian, anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Antiterorisme DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil, berpendapat, meski revisi UU 15/2003 belum selesai, masih ada UU lain yang bisa dijadikan dasar oleh aparat keamanan untuk mencegah aksi teroris terjadi. “Jangan jadikan belum tuntasnya revisi undang-undang terorisme sebagai alasan aparat tidak bisa bertindak mencegah,” tuturnya.
Komunikasi
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Setyo Wasisto mengatakan, polisi telah mengetahui sistem koordinasi yang dilakukan JAD. Selama ini, aplikasi pesan, terutama Telegram, menjadi wadah komunikasi utama kelompok teroris untuk melakukan perekrutan. Namun, dengan proses panjang, Polri bisa membuka percakapan di grup Telegram kelompok teroris
“Mereka sudah tahu kalau komunikasi memakai telepon genggam bisa kami lihat. Namun, kami juga sudah mengetahui sistem koordinasi terbaru mereka,” katanya. (SAN/ILO/APA)
|