Isi Artikel |
Celah Fiskal Kian Menyempit
Banyak negara sedang mengalami tekanan fiskal yang hebat. Penyebabnya, penerimaan jauh meleset daripada target. Padahal, telanjur merencanakan belanja pada level tertentu (biasanya tinggi) untuk mendorong stimulus fiskal. Kebanyakan negara yang mengalami kondisi ini memiliki ketergantungan tinggi terhadap komoditas unggulan, misalnya minyak.
SET
Arab Saudi pada 2015 merencanakan harga minyak 100 dollar AS per barrel pada 2014-2015, tetapi realisasinya terpangkas 70 persen. Bagaimana mungkin mengongkosi fiskal? Arab Saudi harus kehilangan cadangan devisa, dari 800 juta dollar AS menjadi 700 juta dollar AS, dalam setahun terakhir.
Tekanan fiskal juga dialami Brasil. Akibat penerimaan pajak yang terlalu rendah, padahal belanjanya besar, terutama untuk mengongkosi Olimpiade Rio de Janeiro (Agustus 2016), defisit APBN menembus 10 persen (2015) dan 6 persen (2016). Ini masih ditambah inflasi di atas 10 persen.
Indonesia, dalam skala dan intensitas yang lebih rendah, juga mengalami tekanan fiskal. Tahun lalu, defisit APBN mencapai 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Tahun ini, pemerintah semula menargetkan penerimaan negara Rp 1.822 triliun, tetapi direvisi menjadi Rp 1.734 triliun. Pemerintah terpaksa memangkas Rp 50 triliun belanja negara. Ini kondisi dilematis, karena APBN diharapkan dapat memberi stimulus fiskal, sesudah sektor finansial (perbankan) gagal berekspansi.
Pemangkasan belanja pun menjadi hal yang tak terhindari. Namun, apakah jumlah Rp 50 triliun cukup? Jangan-jangan perlu lebih besar lagi? Pemerintah menargetkan penerimaan pajak Rp 165 triliun dari program pengampunan pajak. Apakah realistis?
Kalau kita asumsikan tarif pajak rata-rata dalam program pengampunan pajak 4 persen, untuk mendapatkan penerimaan Rp 165 triliun, berarti ada dana Rp 4.000 triliun yang akan dideklarasikan para pemilik dana selama program ini bergulir tahun ini. Menurut saya, ini terlalu fantastis. Angka inilah yang diasumsikan Menteri Keuangan, melebihi estimasi McKinsey Rp 3.250 triliun.
Jika angka ini tidak tercapai, katakanlah hanya terpenuhi 50 persen, masih ada Rp 80 triliun lagi yang harus dikejar pemerintah untuk menutup defisit, di luar pemangkasan anggaran Rp 50 triliun. Lalu, dari mana dana itu berasal? Apakah bisa dengan cara menaikkan harga BBM, harga gas, tarif listrik, atau pembayaran iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)?
Semua pilihan tersebut menyakitkan dan menyulitkan bagi perekonomian Indonesia. Menurut saya, yang paling rendah sensitivitasnya adalah iuran BPJS Kesehatan untuk segmen yang tertinggi. Yang lainnya, sangat sensitif menyebabkan resistensi masyarakat sehingga kalkulasi politiknya negatif. Kebijakan itu juga akan berisiko elastis menyulut inflasi. Padahal, saat ini kita sedang ”menikmati” inflasi yang terkendali. Inflasi 2016 diperkirakan hanya 4 persen.
Inflasi yang rendah sebaiknya jangan diusik dulu. Di luar aspek fiskal, kita juga perlu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui jalur moneter. Bank Indonesia (BI) pekan lalu menurunkan suku bunga acuan BI Rate dari 6,75 persen menjadi 6,5 persen.
Saya menduga ada dua hal yang mendasarinya. Pertama, inflasi tahun ini bakal rendah. Ini menjadi momentum berharga untuk menurunkan suku bunga. Jika ekspektasi inflasi tahun ini hanya 4 persen, maka suku bunga acuan 6,5 persen jelas lebih dari cukup. BI tidak bisa menurunkan dengan lebih cepat karena bisa mengganggu stabilitas rupiah yang saat ini sedang tertekan pada level Rp 13.340 per dollar AS, sebab pasar mengantisipasi kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed).
Kedua, industri perbankan tengah lesu. Permintaan kredit rendah sehingga ekspansi kredit hanya 7,7 persen, atau separuh dari target otoritas 14 persen. Kelesuan ini terjadi di kedua belah pihak, baik dunia usaha maupun bank. Dunia usaha terpukul karena rendahnya permintaan di hampir semua sektor perekonomian, yang semula dipicu rendahnya harga komoditas. Bank juga ekstra berhati-hati, takut risiko kredit bermasalah yang masih naik.
Penurunan suku bunga diharapkan dapat sedikit membantu mengatasi ini semua. Meskipun, saya belum yakin jika penurunan 25 basis poin tersebut akan bisa mengungkit kenaikan permintaan kredit, tetapi BI sudah memberi arah yang benar. Idealnya penurunan suku bunga memang lebih besar lagi. Namun, bisa dipahami, BI harus selalu menghitung risiko pelemahan rupiah.
Akhirnya, ruang gerak pemerintah untuk mendorong stimulus fiskal sudah sangat sempit. Dalam kondisi terjelek, tatkala target amnesti pajak tidak tercapai, pemerintah terpaksa harus merelaksasi defisit. Jika semula defisit fiskal 2,5 persen terhadap PDB, sesungguhnya masih bisa diulur lagi dengan batas atas 3 persen. Inilah toleransi tertinggi defisit yang masih bisa diberikan parlemen. Taruhlah, defisit APBN diizinkan hingga 2,7 persen atau 2,8 persen terhadap PDB.
Kondisi ini tentu saja tidak ideal. Namun, ini pilihan berat yang masih lebih baik dibandingkan dengan, misalnya, menaikkan harga BBM atau yang sejenisnya. Kombinasi kelesuan dunia usaha dengan lemahnya daya beli masyarakat menjadi kendala yang amat menyulitkan APBN untuk bermanuver. Celah itu kini kian menipis.
A Tony Prasetiantono
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|