Isi Artikel |
Memitigasi Resesi Ekonomi
Tri Winarno*) Selasa, 14/06/2016 17:31 WIB
Tampaknya, AS tidak akan berani menghadapi risikonya.
KINERJA perekonomian dunia pada 2016 dipastikan memprihatinkan, mengarah pada stagnasi yang berkepanjangan yang belum nampak titik terangnya. Meminjam istilah Christine Lagarde, kondisi perekonomian global memasuki era the New Mediocre.
Yang paling mengkawatirkan menurut PBB dalam laporannya yang bertajuk World Economic Situation and Prospect 2016 adalah pertumbuhan ekonomi negara berkembang, diperkirakan hanya akan mencapai rata-rata 3,8%, suatu pertumbuhan ekonomi terendah sejak krisis keuangan global 2009, situasinya dapat disejajarkan dengan kondisi resesi ekonomi dunia 2001.
Penyebab utama kelesuan ekonomi dunia tersebut adalah lemahnya permintaan agregat dunia yang dipicu oleh meningkatnya ketimpangan dan pengetatan fiskal yang kurang rasional. Kelompok atas membelanjakan pendapatannya lebih sedikit dari kelompok bawah, sehingga jumlah uang yang ditempatkan di keuangan jauh melibihi dana yang dibelanjakan.
Lantas, bagaimana dunia mampu memitigasi jebakan stagnasi yang mengarah pada resesi global tersebut? Jawabnya adalah productive quantitative easing policies. Suatu implementasi kebijakan menyediakan likuiditas international yang memadai yang dibutuhkan untuk menutup kebutuhan investasi di proyek infrastruktur. Mirip kombinasi quantitative easing AS dan Proyek Manhattanya, tapi sekalanya global.
Sebenarnya yang mampu melakukan kebijakan tersebut lima negara, yaitu AS, Euro, Inggris, Jepang dan China. Negara yang mata uangnya digunakan sebagai cadangan devisa resmi internasional.
Dalam perekonomian dunia yang tingkat bunganya hampir mendekati nol, US$ yang menguat akan mengakibatkan deflasi yang mirip dng kondisi masih diberlakukannya standar emas dalam transaksi keuangan internasional pada 1930. Dengan demikian sebenarnya negara yang paling mampu menarik dunia dari jebakan resesi adalah AS. Namun, langkah tersebut memerlukan keberanian untuk mengatasi Triffin dilemma. Dengan memenuhi permintaan likuiditas global, maka negara tersebut akan mengalami pelebaran defisit transaksi berjalan.
Tampaknya, AS tidak akan berani menghadapi risikonya. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan beban utang yang tinggi di Eropa dan Jepang telah menurunkan moral pengambil kebijakan untuk menaikkan pajak atau melakukan pinjaman agar ada ruang untuk kebijakan ekspansi fiskalnya. Sebagai akibatnya kebijakan moneter di negara maju telah sangat terbebani, sehingga hampir tidak ada celah untuk bermanuver.
Dari 2007 sampai 2014, bank sentral empat negara pencipta cadangan devisa resmi internasional (AS, Euro, Enggris dan Jepang) telah melakukan ekspansi neraca mereka sebesar US$7,2 triliun. Sebagai akibatnya uang beredar meningkat sebesar US$9 triliun, tetapi kredit sektor swasta hanya meningkat US$1,8 triliun, mengindikasikan kelemahan transmisi kebijakan moneter ke sektor riil.
Selain itu, walaupun tingkat bunga mendekati nol mengurangi beban biaya pembayaran bunga pinjaman, tetapi beban utang riilnya mengalami peningkatan karena penurunan inflasi. Selama rumah tangga dan perusahaan terus melakukan pengurangan utang, maka pada hakekatnya neraca negara tersebut telah mengalami resesi.
Permasalah global saat ini adalah bukan tidak adanya peluang, tetapi karena tidak adanya politicall will untuk mendorong permintaan aggregat global. Sebenarnya investasi di sektor publik masih terbuka lebar, yaitu investasi infrastruktur yang dibutuhkan oleh negara berkembang dan investasi untuk memitigasi perubahan cuaca yang mampu mengangkat dunia dari jebakan resesi. Diperkirakan sekitar US$6 triliun per tahun selama 15 tahun ke depan dibutuhkan untuk investasi infrastruktur guna mengatasi pemanasan global. Di samping itu, G30 memperkitakan dibutuhkan tambahan dana sekitar US$7,1 triliun per tahun untuk investasi di sembilan negara utama.
Sehubungan tidak adanya negara pencipta cadangan devisa internasional yang bersedia menggelontarkan likuiditas yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan investasi di infrastruktur, maka harus diciptakakan mata uang baru yang berlaku sebagai likuiditas internasional, yang penerbitnya tidak menghadapi rIsiko Triffin dilemma. Hanya ada satu pilihan: yaitu the International Monetary Fund’s Special Drawing Right.
Jalan untuk menjadikan SDR sebagai likuiditas internasional masih panjang, karena SDR saat ini hanya berfungsi sebagai aset cadangan, yang kapitalisasinya hanya US$285 miliar relatif sangat kecil dibandingkan dengan global official reserves yang mencapai US$10,5 triliun. Namun, perluasan peran SDR dalam arsitektur keuangan global yang baru, yang bertujuan untuk membuat mekanisme transmisi kebijakan moneter lebih efektif, dapat dicapai tanpa hambatan yang berarti. Karena, secara konseptual peningkatan SDR setara dengan peningkatan neraca bank sentral global.
MEKANISME TRANSMISI
Bank-bank sentral memperbesar neracanya dengan cara berinvestasi melalui IMF dalam bentuk peningkatan SDR. Karena SDR berfungsi sebagai ekuitas, berarti dapat diinvestasikan baik di bank dunia dan lembaga perbankan multilateral lainnya, untuk pembiayaan investasi di sektor publik. Penarikannya dapat diatur sedemikian rupa untuk menghindari dampak imflatoir.
Skenarionya sebagai berikut; bank sentral meningkatkan alokasi SDR di IMF, misal sebesar US$1 triliun. Kalau leverage-nya lima kali, maka IMF dapat meningkatkan pinjaman ke anggota atau menginvestasikan di proyek infrastruktur melalui perbankan pembangunan multilateral setidak–tidaknya sejumlah US$5 triliun. Di samping itu, perbankan pembangunan multilateral dapat meningkatkan leverage dengan melakukan pinjaman di pasar modal. Kemudian proyeknya dapat dijual kembali ke investor sebagai sekuritas yang dijamin oleh aset yang berupa proyek infrastruktur untuk membiayai proyek-proyek baru. Sehingga tercipta efek pengganda yang mampu mendorong perekonomian global.
Pada sistem keuangan konvensional, dana yang tersedia untuk investasi terkendala oleh jumlah tabungan yang tercipta. Akan tetapi, dengan kerangka sistem moneter internasional yang baru tersebut, dengan menggunkan kebijakan moneter yang lebih kreatif, maka likuiditas internasional dapat diciptakan tanpa terkendala oleh pembentukan tabungan global, yang hanya berdampak relatif kecil terhadap inflasi. Asalkan kondisi perekonomian global mengalami kelebihan kapasitas produksi dan lemahnya permintaan agregat.
*) Tri Winarno, Peneliti Ekonomi, Bekerja di Perbankan
|