Isi Artikel |
MENGOPTIMALKAN PERTUMBUHAN EKONOMI
DESMONsILITONGA
Analis PT Capital Asset Management
Dalam RAPBN-P 2016, pemerintah memangkas pertumbuhan ekonomi menjadi 5,1% dari sebelumnya 5,3%. Situasi perekonomian global yang belum kondusif dan normal menjadi pertimbangan atas pemangkasan ini. Bank Dunia baru-baru ini juga kembali
menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global dari 2,9% menjadi 2,4%. Hal ini dilakukan mengingat masih lemahnya prospek pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju (advance economic), harga komoditas yang masih tertekan, perdagangan global yang masih lesu, dan arus modal yang cenderung menyusut. Harga minyak dan komoditas yang tertekan sangat memengaruhi kinerja perekonomian di negara-negara berkembang (emerging economic), khususnya produsen komoditas.
Beberapa di antaranya bahkan mengalami pertumbuhan negatif yang ikut memicu naiknya tensi politik, krisis pangan, dan sejumlah aksi pemogokan. Presiden Dilma Rousseff dari Brasil dan Presiden Nicolas Marudo dari Venezuela menjadi contoh pemimpin di Amerika Latin yang kekuasaannya terguncang akibat tekanan harga minyak dan komoditas. Perekonomian Indonesia juga terimbas oleh tekanan harga komoditas ini.
Booming harga komoditas pada masa lalu, telah membuat pemerintah terlena dan enggan untuk mendiversifikasi dan mendorong nilai tambah produk-produk ekspor.
Hasilnya, harus dituai saat ini. Kinerja ekspor berkontribusi sekitar 23% terhadap PDB terus merosot dan tumbuh negatif. Apalagi, setelah perekonomian
China dan Jepang terkulai. Kelesuan harga komoditas ikut memukul kinerja pertumbuhan ekonomi di daerah. Laporan Nusantara yang dirilis Bank Indonesia (BI) awal Mei lalu menunjukkan bahwa kawasan Indonesia timur (KIT) dan Kalimantan
menjadi kawasan yang mengalami dampak negatif dari kelesuan harga komoditas ini.
Jumlah penganggur di kawasan ini pun cenderung meningkat. Bukan itu saja, divergensi kebijakan moneter yang dijalankan oleh otoritas moneter di negara maju membuat perekonomian Indonesia rentan terpapar risiko pembalikan mendadak (sudden reversal) yang dapat menggangu stabilitas makroekonomi, khususnya nilai tukar rupiah. Risiko ini terjadi karena dominannya kepemilikan asing di instrumen keuangan, khususnya instrumen portofolio (saham dan SUN).
TEKANAN DAYA BELI
Sementara itu, dari sisi domestik, penurunan target pertumbuhan disebabkan oleh masih tertekannya daya beli. Hal ini tercermin dari belum bangkitnya penjualan di sektor otomotif, semen, residensial dan properti, serta ritel. Lesunya daya beli ini berdampak pada kinerja investasi. Dunia usaha memilih wait and see. Bahkan, sejumlah perusahaan mengurangi belanja modal (capital expenditure) dan menurunkan target penjualan. Meskipun pemerintah telah mengeluarkan selusin paket ekonomi, tetapi hal ini belum mampu menggairah investasi. Mengapa? Tentu, masih banyaknya item-item di dalam paket ekonomi yang masih mengandung ketidakpastian dan sulit dieksekusi di lapangan. Padahal, kepastian menjadi hal utama yang dibutuhkan investor. Lesunya daya beli dan investasi berdampak pada kinerja kredit perbankan. Di April 2016, pertumbuhan kredit hanya 7,7% (yoy). Turun dari Maret 2016 sebesar 8,4% (yoy). Bukan itu saja, lesunya kinerja konsumsi dan investasi berdampak pada penerimaan pajak di APBN 2016. Sampai akhir Mei 2016, realisasi penerimaan pajak hanya sebesar Rp364,1 triliun. Turun 3% dari periode yang sama tahun 2015. Tentu, di tengah kondisi lesunya daya beli dan investasi, maka belanja pemerintah bisa menjadi tumpuan. Ironisnya, buruknya kualitas penyerapan belanja, membuat laju pertumbuhan tidak maksimal. Itulah yang terjadi di
kuartal I/2016. Pertumbuhan turun menjadi 4,92% dari kuartal IV-2015 sebesar 5,04%.
OPTIMALKAN PERTUMBUHAN
Oleh sebab itu, agar pertumbuhan ekonomi dapat dioptimalkan, maka selain fokus pada kebijakan jangka panjang (reformasi fiskal, deregulasi dan debirokratisasi, dan memperbesar peran daerah dan desa), pemerintah juga diharapkan dapat memperkuat kebijakan jangka pendek, khususnya dalam menstimulasi daya beli. Kebijakan pemerintah menaikkan penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp36 juta/ tahun menjadi Rp54 juta/tahun dan memperbesar alokasi bagi Kredit Usaha Rakyat (KUR) patut diapresiasi. Begitu pun dengan upaya Bank Indonesia dalam mendukung daya beli dengan merelaksasi kebijakan moneter dan makroprudensial-
nya. Meski begitu, kebijakan ini harus dapat diikuti oleh kebijakan lainya, seperti,
pertama, penciptaan lapangan kerja sebesar-besarnya, khususnya di sektor padat karya. Proyek-proyek strategis pemerintah bisa jadi solusi. Itulah sebabnya, proyek-proyek strategis itu jangan sampai tersendat, apalagi terhenti. Pemerintah harus menjamin penyerapan belanja bisa lebih dimaksimalkan dan tidak mengulang kondisi sebelum-sebelumnya.
Kedua, memastikan terciptanya stabilitas harga. Hal ini diharapkan akan mendorong
kepercayaan masyarakat untuk mengonsumsi. Musim Ramadan dan Lebaran seperti saat ini, tingkat konsumsi biasanya akan relatif meningkat. Menurut Bank Indonesia, jumlah uang beredar di musim Ramadan dan Lebaran diperkirakan mencapai Rp160 triliun.
Likuditas yang besar ini akan berdampak positif untuk menggerakkan pertumbuhan,
khususnya di daerah. Untuk itu, momentum ini jangan sampai hilang, akibat lonjakan
harga yang tidak terkendali. Ketiga, cash transfer melalui THR dan gaji ke-13 untuk PNS. Pemerintah harus menjamin kebijakan ini bisa dijalankan. Aliran dana ini akan berdampak positif mendorong daya beli.
|