Judul | ANGKET KPK DPR Dinilai Tabrak Empat Putusan MK |
Tanggal | 19 Juli 2017 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 5 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi III - Panitia Khusus |
Isi Artikel | JAKARTA, KOMPAS — Empat putusan Mahkamah Konstitusi ditabrak DPR ketika memutuskan mengajukan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Keempat putusan itu menyebutkan, KPK bukan bagian dari pemerintah, melainkan termasuk lembaga kekuasaan kehakiman, sehingga tidak bisa menjadi target angket. Keempat putusan dimaksud termuat dalam Putusan MK Nomor 12-16-19/PUU-IV/2006 dan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011. Putusan itu merupakan putusan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar 1945. “Ketika terjadi perbedaan tafsir, saat sudah diputuskan oleh hakim, putusan hakim yang berlaku. Putusan hakim menjadi hukum yang tak bisa dibantah,” ujar mantan Ketua MK Mahfud MD dalam rapat Panitia Angket DPR terhadap KPK di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (18/7). Panitia mengundang Mahfud untuk memaparkan pandangannya yang menolak hak angket terhadap KPK. Selama ini, DPR menafsirkan KPK bagian dari pemerintah. Dengan demikian, DPR bisa mengajukan hak angket terhadap KPK. Mahfud menjelaskan, dalam Putusan MK Nomor 12-16-19/2006 disebutkan, KPK termasuk lembaga yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945. Pasal itu menyebutkan, badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur UU. Adapun dalam Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011 disebutkan, KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus, antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait kekuasaan kehakiman untuk menyelidiki, menyidik, menuntut, dan menyupervisi penanganan perkara korupsi oleh institusi negara yang lain. Hal ini diperkuat pula dengan UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang sesungguhnya dibuat oleh DPR. Dalam Pasal 38 Ayat (2) disebutkan, fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman di antaranya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Hal itu berarti, KPK yang memiliki tiga fungsi itu termasuk di dalamnya. Maka, jika KPK disebut kuasi eksekutif tidak tepat. “KPK justru sebenarnya kuasi yudikatif,” ujarnya. Dengan demikian, tidak tepat pula jika KPK menjadi sasaran angket. Sebab, jika mengacu pada UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), hak angket atau penyelidikan DPR hanya bisa digunakan untuk pemerintah. Seluruh pandangan yang dikemukakan Mahfud ini sudah menjadi hasil kajian dari 132 pengajar hukum tata negara dan hukum administrasi negara yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara. Meski hasil kajian telah dijelaskan, Panitia Angket DPR terhadap KPK tetap pada tafsirnya bahwa KPK merupakan bagian dari pemerintah sehingga bisa diajukan hak angket oleh DPR. “Bagi kami, perbedaan itu tak jadi persoalan karena ada landasan argumentasi teori yang bisa dipertanggungjawabkan masing-masing,” ujar Ketua Panitia Angket DPR terhadap KPK dari Fraksi Partai Golkar Agun Gunandjar Sudarsa. (APA) |
Kembali ke sebelumnya |