Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Asmat dan Esensi Kekuasaan
Tanggal 24 Januari 2018
Surat Kabar Kompas
Halaman 5
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Bencana kesehatan yang sedang terjadi di  Asmat, Papua, seolah mengingatkan esensi dan tanggung jawab dari kekuasaan yang kini tengah diperebutkan di sejumlah daerah melalui pilkada. Dalam dua bulan terakhir setidaknya ada 602 anak di Asmat yang menderita gizi buruk serta terjangkit campak dan sejumlah penyakit lain. Sebanyak 69 anak di antarnya meninggal. Jumlah itu dapat disebut sementara karena baru sebatas di lokasi yang dapat dijangkau pemerintah. Masih ada kampung di wilayah pedalaman, yang dikelilingi rawa dan sungai lebar, yang belum dijangkau.   Buruknya kualitas kesehatan di Asmat yang memiliki 8.395 anak balita tergambar dari keterjangkauan imunisasi campak terhadap anak-anak Papua yang baru mencapai 46,1 persen pada 2017. Cakupan imunisasi itu baru terdata dengan kelengkapan pelaporan 61 persen. Eskalasi bencana kesehatan di Asmat meningkat sejak pertengahan Januari. Pada 12 Januari diketahui ada 24 anak meninggal. Jumlah itu bertambah esoknya menjadi 26 anak dan menjadi 61 anak pada 15 Januari. Di tengah semangat pemerintah untuk membangun dari kawasan pinggiran/perbatasan, tragedi kesehatan di Asmat ini sungguh mengundang keprihatinan. Bencana kesehatan ini juga menimbulkan pertanyaan soal otonomi khusus (otsus) untuk Papua, yang salah satunya ditandai dengan kucuran dana otsus dari pemerintah pusat senilai triliunan rupiah. Dengan tema ”Siapa Lalai di Tanah Papua”, acara Satu Meja di Kompas TV pada Senin (22/1) yang dipandu Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo mengupas akar masalah penderitaan anak-anak di Asmat yang menghadapi gizi buruk serta epidemi campak dan sejumlah penyakit lain. Hadir sebagai narasumber dalam acara ini Jaleswari Pramodhawardani yang menjabat Deputi V Kantor Staf Presiden, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Sandrayati Moniaga, anggota DPR dari Fraksi Nasdem Daerah Pemilihan Papua Sulaiman L Hamzah, serta Bupati Asmat Elisa Kambu yang dihubungi lewat telepon. Dalam acara ini, wartawan Kompas, Josie Susilo Hardianto, yang berada di Asmat juga melaporkan kondisi terakhir daerah tersebut. Campak dan gizi buruk Diskusi dalam acara Satu Meja ini berangkat dari respons pemerintah yang ditengarai lambat dalam menangani gizi buruk di Asmat. Menurut Sulaiman, pada September 2017, dia telah memperoleh laporan dari Bupati Asmat bahwa terjadi epidemi campak dan gizi buruk di Asmat. Saat itu, katanya, Bupati juga sudah menerjunkan tim kesehatan, tetapi masih terbatas tim kabupaten. ”Mulanya kami menduga (epidemi) itu terbatas di kampung-kampung tertentu. Kemudian, setelah tim diterjunkan, ternyata setiap kampung sudah terjangkit virus tersebut,” ujarnya. Jaleswari menambahkan, pada September 2017, Presiden Joko Widodo juga telah memerintahkan Kementerian Kesehatan agar bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengatasi masalah itu. Selain itu, pada Mei hingga Agustus tahun lalu, Presiden juga telah mengingatkan pentingnya pelaksanaan sejumlah imunisasi, seperti imunisasi campak dan rubela, di seluruh Tanah Air. Banyaknya anak di Asmat yang meninggal pada Januari ini, lanjut Jaleswari, dipicu sejumlah masalah, seperti kondisi geografis dan ketersediaan fasilitas kesehatan. Kondisi geografis membuat upaya pelayanan kesehatan sulit menjangkau masyarakat di pedalaman. Sebagai contoh, Asmat hanya dapat dijangkau dengan menggunakan penerbangan perintis dan kapal cepat dari Timika, Papua. Pada saat yang sama, fasilitas kesehatan yang tersedia di Asmat maksimal baru berupa rumah sakit umum daerah tipe C. Akibatnya, fasilitas kesehatan yang tersedia di daerah itu untuk memberikan pengobatan terhadap sejumlah penyakit amat terbatas. Hingga awal September 2017 baru sekitar 20 persen anak di Asmat yang mendapat vaksin. Kondisi ini, menurut Jaleswari, menjadi kendala yang dihadapi pemerintah untuk merespons dengan cepat bencana kesehatan yang menimpa anak-anak di Asmat. Sebagai Bupati Asmat, Elisa menyampaikan, kendala geografis menjadi salah satu masalah utama untuk mencegah epidemi di pedalaman Asmat. Dana Rp 106 miliar yang diperoleh Pemerintah Kabupaten Asmat dari dana otsus Papua senilai Rp 8,2 triliun, menurut dia, tak cukup untuk biaya transportasi guna menjangkau semua kampung di Asmat. ”Dari puskesmas ke kampung biayanya besar. Tingkat kesulitannya juga tinggi dan biaya operasional Rp 1 juta itu hanya untuk beberapa kampung,” katanya. Dampak konteks pemenuhan kesehatan, lanjut Sandra, pemerintah tampak peduli dengan memberikan anggaran kepada Papua. Namun, dengan kondisi Papua yang sebagian masyarakatnya tinggal di daerah terpencil dengan kondisi geografis dan kerentanan fisik yang beragam, pemenuhan kesehatan bagi warga Papua belum terpenuhi. ”Jadi, kalau kita lihat Presiden sudah menginstruksikan di bulan September (pelaksanaan vaksinasi), jajaran pemerintahan tampaknya belum sepenuhnya menerjemahkan instruksi tersebut dalam upaya memenuhi hak asasi masyarakat dalam kesehatan,” ujarnya. Dalam konteks politik, menurut Sandra, sudah sepatutnya pendidikan politik kepada masyarakat perlu diperkuat agar masyarakat makin memahami hak-haknya dalam relasi dengan pimpinan daerah. ”Penting (bagi masyarakat) untuk paham makna pilkada terhadap kehidupan mereka sehari-hari. Apa kaitannya dengan tataran yang lebih praktis,” katanya. Jika itu terwujud, gambaran umum seperti yang disampaikan Jaleswari, bahwa politik adalah memanfaatkan suara rakyat untuk merebut kekuasaan dan kemudian rakyat diabaikan setelah kekuasaan itu diperoleh, akan dapat diakhiri. Bencana kesehatan seperti yang terjadi di Asmat akan lebih mudah dicegah. (MADINA NUSRAT)
  Kembali ke sebelumnya