Isi Artikel |
Ada cerita tentang perusahaan dan utangnya. Pada tahun 1996-1997, sebuah perusahaan di Jawa Timur meminjam dana untuk membeli mesin produksi yang lebih modern. Namun, krisis perekonomian menghantam Indonesia pada 1997-1998. Perusahaan itu harus menelan kenyataan, utangnya yang dalam dollar AS membengkak.
Dengan segala daya upaya, perusahaan itu akhirnya dapat melunasi utang sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan. Saat ini, perusahaan tersebut kembali memerlukan dana untuk memperluas pabrik. Akan tetapi, rencana meminjam dana dalam dollar AS sama sekali belum dipikirkan.
Perusahaan itu memilih untuk menggunakan modal internal perusahaan. Padahal, perusahaan tersebut memiliki pendapatan cukup besar dalam dollar AS karena sekitar setengah produksinya diekspor. Pengalaman berhadapan dengan krisis membuat perusahaan sangat berhati-hati meminjam dana.
Pinjaman dollar AS, termasuk dari luar negeri, umumnya mengenakan suku bunga yang lebih rendah dibandingkan dengan pinjaman rupiah di dalam negeri. Pinjaman tersebut bisa datang dari lembaga keuangan, bank dan nonbank, ataupun nonlembaga keuangan. Untuk anak usaha, yang induknya ada di luar negeri, bisa juga memperoleh pinjaman dari perusahaan induk.
Data Bank Indonesia menunjukkan, utang luar negeri Indonesia terus meningkat. Per April 2016, utang luar negeri Indonesia mencapai 318,979 miliar dollar AS. Dengan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate per Rabu (22/6), yakni Rp 13.298 per dollar AS, utang tersebut senilai Rp 4.241 triliun. Utang ini terdiri dari utang pemerintah dan bank sentral sebesar 153,756 miliar dollar AS dan utang swasta sebesar 165,223 miliar dollar AS.
Porsi utang swasta sekitar 51,8 persen dari total utang. Namun, utang swasta cenderung bergerak dalam kisaran stagnan. Bahkan, dalam setahun terakhir, utang luar negeri swasta turun, dari 168,812 miliar dollar AS pada Mei 2015. Sebaliknya, utang pemerintah dan bank sentral justru naik dalam setahun terakhir, dari 133,61 miliar dollar AS pada Mei 2016.
Di tengah kondisi perekonomian yang sedang tidak menentu seperti saat ini, perusahaan menjadi sangat berhati-hati dalam mengajukan utang. Tak hanya utang luar negeri, kredit di dalam negeri pun masih tumbuh di bawah 10 persen. Padahal, otoritas menargetkan kredit perbankan tumbuh sekitar 12-13 persen tahun ini.
Menurut Bank Indonesia, kredit perbankan tumbuh 8 persen dalam setahun per April 2016. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan kredit per Maret 2016, yakni 8,7 persen.
Padahal, pada April 2015, kredit perbankan masih tumbuh 10,4 persen dalam setahun meskipun kondisinya sama seperti tahun ini, yakni turun dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Pada Maret 2015, kredit tumbuh 11,3 persen.
Data yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan menunjukkan, fasilitas kredit bagi nasabah yang belum ditarik juga meningkat. Per April 2016, kredit yang belum ditarik Rp 1.242 triliun. Dari jumlah itu, Rp 294,9 triliun di antaranya merupakan kredit yang sudah ada komitmen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan April 2015, yakni sebesar Rp 1.177 triliun, dengan Rp 293,4 triliun di antaranya merupakan kredit yang sudah ada komitmen. Pada Maret 2016, fasilitas kredit yang belum ditarik Rp 1.236 triliun, dengan Rp 292,9 triliun di antaranya merupakan kredit yang sudah komitmen.
Terhitung sepanjang Januari-Juni 2016, suku bunga acuan BI atau BI Rate sudah turun 1 persen. Diharapkan penurunan ini ditransformasikan oleh bank sehingga suku bunga kredit juga turun. Memang, diperlukan waktu setidaknya 3-6 bulan untuk mengadaptasi BI Rate ini.
Namun, kenyataannya, hingga kini kredit perbankan belum juga tumbuh signifikan. Kondisi ini menunjukkan, perusahaan sangat berhati-hati mengajukan kredit karena perekonomian belum pulih. Menilik kondisi terkini utang luar negeri swasta dan kredit perbankan, kita menunggu-nunggu kondisi kembali memberikan kepercayaan bagi swasta untuk mengajukan kredit. Kemudian, perusahaan memacu produksi dan mendorong perekonomian. (Dewi Indriastuti)
|