Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Pelaksanaan Program KB Belum Optimal
Tanggal 30 Januari 2018
Surat Kabar Kompas
Halaman 12
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel   Program Keluarga Berencana tidak berjalan maksimal hingga ke daerah-daerah. Pemerintah daerah  tidak tertarik dengan isu kependudukan karena sumber daya manusia baru terlihat manfaatnya 5-10 tahun ke depan.   JAKARTA, KOMPAS – Pernikahan usia muda masih menjadi masalah yang belum terselesaikan di Indonesia. Sebanyak 37,1 persen dari sekitar 35 juta pasangan menikah di usia 15-19 tahun. Hal itu disebabkan kurangnya pengetahuan mereka tentang pubertas dan risiko menikah muda. Pelaksanaan Program KB di pinggiran kota dan perdesaan dinilai belum optimal. Berdasarkan Pendataan Keluarga 2015, persentase menikah pertama pada perempuan berusia 15-19 tahun sebesar 37,1 persen; perempuan berusia 20-34 tahun sebesar 61,2 persen; dan perempuan berusia 35-49 tahun sebesar 1,6 persen. Adapun tiga provinsi terbesar dalam proporsi perempuan menikah pertama usia 15-19 tahun adalah Jawa Barat (49,3 persen), Kalimantan Tengah (45,9 persen), dan Sulawesi Barat (45,5 persen).   Ketua Tim Peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Kependudukan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Muhammad Dawam mengatakan, tingginya pernikahan di usia muda disebabkan kurangnya pengetahuan pasangan tentang pubertas dan risiko menikah muda. Namun, setelah ditelusuri, menurut Dawam, ditemukan bahwa petugas BKKBN di daerah juga belum memiliki pengetahuan yang mendalam terkait hal itu sehingga sosialisasi tidak berjalan maksimal. ”Ini kegagalan dari Program KB. Petugas yang sudah dilatih hanya punya pengetahuan di permukaan. Pelatihannya juga digabung-gabung dengan program lain. Jadi, dia tidak percaya diri untuk menyosialisasikan program yang ada,” ujar Dawam dalam acara Diseminasi Hasil Penelitian dan Pengembangan Kependudukan Tahun Anggaran 2017 di Hotel Santika, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, Senin (29/1). Tergantung pusat Dawam menuturkan, selama ini tidak semua pemerintah daerah memiliki tujuan yang sama untuk mengontrol jumlah warganya sehingga Program KB tidak berjalan maksimal hingga ke daerah-daerah. Pemda hanya bergantung kepada pemerintah pusat dalam pengalokasian dana program pengendalian kependudukan. ”Pemda tidak tertarik untuk isu kependudukan karena sumber daya manusia baru terlihat manfaatnya 5-10 tahun ke depan, berbeda dengan pembangunan infrastruktur. Kalau mengharapkan pendanaan dari pusat terus, tidak akan pernah bisa. Kami juga terbatas pendanaannya,” kata Dawam. Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi BKKBN Dwi Listyawardani menuturkan, berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017, usia kawin pertama pada perempuan berusia 15-19 tahun lebih banyak terjadi di perkotaan (51,5 persen) dengan masyarakat berpendidikan rendah (30,1 persen). Dwi menduga, masyarakat itu mayoritas pendatang sehingga tak tertangani oleh petugas BKKBN. ”Sebenarnya kami sudah ada intervensi di daerah-daerah miskin perkotaan. Cuma karena penduduknya berpindah- pindah terus sehingga kami kesusahan. Harus ada program terobosan untuk menjangkau penduduk seperti itu,” ujarnya. Karena itu, kata Dwi, perlu ada sinergi antara program pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan pembangunan daerah harus sejalan dengan kebijakan kependudukan dari pusat, salah satunya dengan program pemberdayaan perempuan dan program wajib belajar. ”Program KB itu hanya alat. Yang diubah itu pola berpikirnya,” katanya. Ketua Umum Ikatan Praktisi dan Ahli Demografi Indonesia Sudibyo Alimoeso mengatakan, pernikahan dini makin terlegitimasi karena tak adanya sinkronisasi antara satu peraturan dan yang lain. Undang-Undang No 1/1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa batas usia minimal perkawinan pada perempuan adalah 16 tahun. Sementara pada UU No 35/2014 tentang Perubahan Atas UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa anak yang belum berusia 18 tahun berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. (dd18)
  Kembali ke sebelumnya