Isi Artikel |
Artikel Opini
Substansi Kebijakan Mendikbud
MOHAMMAD ABDUHZEN
Beberapa kali kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy jadi kontroversi. Dua di antaranya dimentahkan oleh Presiden melalui rapat terbatas. Padahal, gagasan dan rencana kebijakan itu sudah tersiar luas di berbagai media.
Jadinya, apa yang dipikirkan Mendikbud di mata publik terkesan serba salah. Bahkan, dengan kebijakannya tentang hari sekolah—yang dikenal dan dipahami sebagai full day school, Mendikbud dikesankan hendak menghapuskan madrasah diniyah dan kegiatan keagamaan lain yang terselenggara pada petang hari. Apa sesungguhnya yang diinginkan mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Malang dengan berbagai kebijakannya itu?
Salah paham dan purbasangka
Pertama, kebijakan tentang moratorium ujian nasional (UN) yang disimpulkan masyarakat sebagai ”menghapuskan” UN. Padahal, sejatinya Mendikbud bermaksud merevisi pelaksanaan UN. Oleh karena itu, kata yang dipilihnya ”moratorium”. Menghapuskan UN tak mungkin dilakukan karena selain bertentangan dengan Pasal 57 dan 58 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UN juga diperlukan untuk memantau perkembangan pendidikan nasional.
Di antara beberapa alasan Mendikbud untuk memoratorium UN juga merupakan keberatan teoretis, yuridis, dan praktis dari para pakar dan praktisi pendidikan yang mengiringi kontroversi UN selama ini. Belakangan, makin tampak bahwa UN bukan saja terbukti tidak meningkatkan mutu pendidikan—di antaranya tampak dari hasil PISA tahun 2012—melainkan juga secara nyata merusak mental anak-anak karena secara kasatmata mengajarkan tipu daya dan mentalitas korupsi.
Selain itu, sebagai pembantu Presiden, Mendikbud berupaya menerjemahkan agenda prioritas Presiden. Dalam Nawacita secara eksplisit dinyatakan: Presiden akan melaksanakan wajib belajar 12 tahun tanpa pungutan; menekankan pendidikan karakter, terutama pada aspek pendidikan kewarganegaraan; dan akan mengevaluasi berbagai model penyeragaman pendidikan, termasuk di dalamnya UN.
Moratorium diperlukan untuk jeda dan mengembalikan posisi serta fungsi UN, seperti termaktub dalam UU sebagai evaluasi untuk pengendalian mutu pendidikan secara nasional, sekaligus sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan. Oleh karena itu, UN tetap diperlukan, tetapi tidak perlu setiap tahun.
Sayangnya, gagasan moratorium UN ditolak dalam rapat terbatas antara Presiden, Wakil Presiden, dan beberapa kementerian terkait pada 19 Desember 2016. Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang memang penggagas UN, mengatakan bahwa UN masih dibutuhkan untuk menilai mutu pendidikan di Indonesia. Dengan adanya UN, pemerintah bisa mengevaluasi pendidikan yang sudah berjalan. Tanpa ujian nasional akan sulit bagi pemerintah menilai dan sulit mengukur level mutu pendidikan. UN juga, menurut Kalla, bertujuan meningkatkan mutu pendidikan. Oleh karena itu, lanjutnya, usul moratorium ujian nasional tidak disetujui.
Kedua, kebijakan tentang hari sekolah yang dipahami sebagian masyarakat sebagai sekolah sehari penuh. Dengan pemahaman demikian, banyak pihak berpurbasangka kebijakan ini akan mematikan pendidikan keagamaan. Siswa tersita waktunya oleh kegiatan sekolah formalnya. Berulang kali Mendikbud menjelaskan bahwa dirinya justru bermaksud memfasilitasi kegiatan keagamaan dan kegiatan lain dengan menyinkronisasikannya dengan program ekstra dan kokurikuler. Sementara bagi sekolah yang belum memiliki kegiatan ekstra dan atau kokurikuler yang terkait lingkungannya, kebijakan ini sesungguhnya dapat menjadi stimulans.
Mendikbud kurang mengekspos kebijakan hari sekolah akan ”memfleksibelkan” persekolahan dan meluaskan makna pembelajaran. Masyarakat perlu dipahamkan bahwa ”delapan” jam per hari tak berarti murid mesti berada di sekolah, apalagi di kelas, selama itu. Namun, ”8” jam maksudnya murid berada di dalam naungan (lingkup) koordinasi dan otoritas sekolah.
Kebijakan tentang hari sekolah tidaklah berdiri sendiri dan bertujuan tunggal. Sebelumnya, Mendikbud Muhadjir Effendy telah melangsir program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Pendidikan karakter yang telah dicanangkan sejak 2010 belakangan tampak melempem dan tak efektif sehingga perlu direvitalisasi dan diekstensifikasi, di antaranya melalui pengaturan hari sekolah. Perluasan ini sejalan dengan pesan Presiden Jokowi ketika membuka Rakorpimnas PGRI di Yogyakarta, 22 Juli 2017, agar murid jangan hanya belajar di kelas, tetapi juga harus dibawa belajar mengenal lingkungan sosialnya. Kebijakan tentang hari sekolah sebenarnya secara fleksibel juga memfasilitasi peran orangtua/keluarga dan masyarakat.
Pada sisi lain, kebijakan hari sekolah bertujuan mengatasi kebuntuan terkait kewajiban guru memenuhi beban kerjanya. Pasal 35 Ayat (2) UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen dengan tegas menyatakan: beban kerja guru sekurang-kurangnya 24 jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 jam tatap muka dalam satu minggu. Pada praktiknya ketentuan ini sukar dipenuhi dan jadi keluhan sebagian besar guru di seluruh Tanah Air karena berpengaruh pada pencairan tunjangan profesi mereka. Hampir tak ada cara lain mengatasi persoalan ini—kecuali merevisi UU Sisdiknas yang perlu waktu lama—selain memperluas spektrum pengertian 24 jam tatap muka. Meski masih bisa dipersoalkan, kebijakan ini membuka jalan dengan meluaskan pemaknaan ”24 jam tatap muka” sehingga beban kerja guru dapat ditutupi melalui kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
Beragam reaksi bermunculan, baik setuju, lebih-lebih yang tidak setuju, baik dengan alasan teknis, yuridis, psikologis, maupun politis. Kebijakan hari sekolah menjadi isu full day school yang berpotensi menimbulkan polarisasi di masyarakat sehingga ”dibatalkan” Presiden. Menurut Mendikbud, Presiden akan memperkuat Permendikbud No 23/2017 tentang Hari Sekolah dengan Peraturan Presiden tentang Penguatan Karakter yang akan diterbitkan pada awal September 2017.
Ketiga, kebijakan sistem zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Melalui Permendikbud No 17/2017, pemerintah mewajibkan sekolah negeri mulai TK hingga SMA menerima setidaknya 90 persen dari total murid yang diterima didasarkan pada zona domisili terdekat. Sisanya, 5 persen untuk jalur prestasi dan 5 persen bagi murid pindah domisili. Sistem zonasi tidak berlaku bagi sekolah menengah kejuruan (SMK).
Sistem zonasi, menurut Muhadjir, implementasi dari arahan Presiden Jokowi mengenai pentingnya pemerataan kualitas pendidikan. ”Semua sekolah harus jadi sekolah favorit. Semoga tidak ada lagi sekolah yang mutunya rendah,” ujar Muhadjir. Kebijakan ini sejalan juga dengan Nawacita yang akan meningkatkan mutu pendidikan dengan mendistribusikan guru berkualitas secara merata.
Meski kebijakan zonasi PPDB tak mendapatkan reaksi negatif sekeras dua kebijakan lain, sebagian orangtua murid merasakan ketidakadilan karena anaknya harus masuk sekolah yang tak diharapkannya. Sistem zonasi dianggap kebijakan yang akan memerosotkan mutu sekolah yang selama ini baik karena murid-murid yang masuk tak sepenuhnya terseleksi secara akademik, tetapi berdasarkan pemukim. Padahal, menurut John Hattie (2003), kualitas sekolah dan lulusannya ditentukan oleh sekitar 50 persen muridnya.
Poin pembelajaran
Secara substansial, berbagai kebijakan Muhadjir Effendy benar, tepat, dan menjanjikan kemajuan. Benar, karena tak bertentangan dengan perundang-undangan dan peraturan; tepat karena bersesuaian dengan misi pemerintah dan kepresidenan (Nawacita) serta menyasar berbagai problem krusial pendidikan nasional.
Masalahnya, barangkali, terletak pada cara mengomunikasikan berbagai kebijakan yang sering kali tampak prematur sehingga terkesan kompleksitas permasalahan belum terpahami secara utuh. Problem pendidikan senantiasa berdimensi banyak dan luas, sering tak kasatmata, tak memiliki matra yang pasti, dan berjangka panjang. Teori pendidikan pun tidak tunggal, bahkan saling bertentangan, sehingga diperlukan pemahaman komprehensif dan kecermatan pengamatan dalam menyusun berbagai kebijakan. Mengurai kekusutan dunia pendidikan tak seperti mengurai kemacetan arus mudik Lebaran yang sekali lancar, lalu menteri dan pihak terkait spontan dinilai sukses.
Kementerian bidang kependidikan sebaiknya tidak dituntut atau bermaksud terburu-buru membuat kebijakan sebagai ”gebrakan” agar pemerintah terlihat bekerja. Urusan pendidikan memerlukan kesungguhan dan kehati-hatian karena di satu sisi merupakan pelayanan mendasar pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang banyak, pada sisi lain merupakan pertaruhan masa depan bangsa. Dengan anggaran belanja lebih dari Rp 400 triliun dan posisi strategis pendidikan, sebaiknya Presiden memiliki tim kecil atau staf khusus yang membantunya terkait bidang pendidikan atau bahkan pemerintah mungkin memerlukan komisi agar kebijakan pendidikan tak jadi seperti tarik-ulur seperti sekarang ini.
Mohammad Abduhzen, Advisor Institute for Education Reform Universitas Paramadina; Ketua Litbang PB PGRI
|