Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul KOMUNITAS: KOMUNITAS Harapan bagi Penderita Kusta
Tanggal 06 Februari 2018
Surat Kabar Kompas
Halaman 23
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel LEPROSY CARE COMMUNITY INDONESIA Salah satu kegiatan LCCI. Penderita penyakit kusta kerap mengalami diskriminasi dari orang-orang di sekitarnya. Itulah yang membuat mereka menjadi rendah diri dan memilih mengisolasi dari dunia luar. Komunitas Leprosy Care Community Indonesia mencoba menumbuhkan kembali rasa percaya diri mereka.   Selama ini, orang jarang membicarakan perihal penyakit kusta. Namun, sekelompok anak muda punya perhatian khusus pada penderita kusta. Mereka, mahasiswa dari sejumlah universitas di Jawa, lewat Leprosy Care Community Indonesia (LCCI), bersedia tinggal selama dua minggu dengan penyandang kusta dan keluarganya demi mengangkat kembali rasa percaya diri mereka. Seperti di negara lain, sebagian masyarakat di Indonesia masih sulit menerima penyandang kusta di lingkungan mereka karena alasan takut tertular. Kondisi itu terjadi sejak lama sehingga membuat penderita dan eks penderita kusta memilih membuat koloni sendiri. Mereka tinggal, menikah, lalu menjadi keluarga besar di sebuah tempat yang sulit dijangkau orang. Salah satu koloni eks penderita kusta berada di Dusun Nganget, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Dusun itu sejak tahun 2010 menjadi sasaran anggota LCCI. Setahun sekali, relawan komunitas yang didirikan Takashima Yuta asal Jepang ini tinggal selama dua minggu di sana. Anggota komunitas selain merasakan tinggal bersama di koloni tersebut juga membantu warga di sana membuat jalan, kamar mandi/WC, dan lainnya. Biaya pembangunan jalan, kamar mandi/WC, dan proyek terbaru berupa bak penampungan air panas (Dusun Nganget punya sumber air panas alam) berasal dari Yayasan Sasakawa Memorial Health Foundation Jepang. Yuta setiap tahun meminta bantuan dana dari yayasan itu. Namun, sebenarnya LCCI lebih menekankan gerakan untuk mengembalikan rasa percaya diri penderita kusta sehingga bisa berbaur dengan warga di luar koloni. “Saya pertama kali ke sana tahun 2009. Di kampung itu tidak ada jalan. Saya berpikir, penduduk perlu jalan bagus,” tutur Yuta pada Sabtu (3/2) di kawasan Kampus Universitas Indonesia (UI) di Depok. Anak muda ini pernah menjadi relawan di Friends International Work Camps di Jepang. Ia pernah mengunjungi koloni eks penderita kusta di China. Pengalaman itu membuat ia ingin meneruskan kegiatan Friends International Work Camps ke negara lain. Ia memilih datang ke Indonesia karena, menurut statistik, angka penderita kustanya berada di peringkat ketiga. Penderita terbanyak pertama dan kedua masing-masing India dan Brasil. Kaget dan shock Tahun 2010, Yuta mengajak mahasiswa di UI bergabung dengannya melakukan program work camp. Program itu diadakan di Nganget yang dihuni sekitar 200 penderita kusta dan keluarganya. Beberapa mahasiswa UI mendaftar jadi relawan. Namun, ketidaktahuan mereka tentang penyakit kusta membuat relawan shock saat berhadapan dengan penderita kusta ataupun eks penderita. Maklum, anak muda era kini rata-rata tak tahu apa yang terjadi pada penderita dan keluarganya. “Waktu mereka membuka lowongan relawan LCCI, saya enggak tahu lepra atau kusta itu apa. Sudahlah, ikut saja,” ujar Cakra Meliala, lulusan Fakultas Farmasi UI yang sedang mengambil program profesi apoteker di UI. Begitu bertemu dengan warga Desa Nganget, ia shock. Kondisi eks penderita kusta beragam. Ada yang tetap normal, tetapi ada yang tak memiliki jari karena teramputasi sendiri, atau kithing (jari tangan/kaki bertumpuk). “Kaget dan shock, tapi kemudian saya terbiasa melihatnya,” lanjut Cakra. Relawan lain, Palupi Hapsari, mahasiswi Fakultas Hukum UI, pun shock. “Kalau lihat yang cacat, tak begitu kaget. Ketika melihat yang punya luka terbuka itu aku agak shock. Aku tak berani melihat lukanya,” ucap Palupi. Nabila Kharimah Vedy, mahasiswa UI; Melda Naomi, mahasiswa Politeknik Kesehatan Bekasi; serta Ester Purba, alumnus UI, punya cerita yang sama. Mereka bisa segera menguasai diri dan kemudian dengan cepat berbaur dengan warga. “Pembekalan sebelum berangkat tentang kondisi para penderita dan mantan penderita membantu relawan bisa segera menguasai keadaan dari rasa shock,” lanjut Palupi. Meski pada awalnya kaget, setelah work camp, para relawan justru ketagihan untuk datang ke sana lagi, padahal mereka harus menanggung sendiri seluruh biaya transportasi dan makan di Nganget. “Aku sih merasa homey banget selama di sana,” kata Palupi lagi. Nabila menambahkan, saat mereka berpamitan pulang, seluruh relawan dan warga bertangisan. Sejak 2010, tak kurang dari 200 relawan yang menjadi anggota LCCI pernah tinggal di Nganget. Walau belum bisa mengubah pola pikir dan pandangan warga di luar koloni, penderita kusta mulai memiliki rasa percaya diri lagi dan warga di luar Desa Nganget mulai menerima penderita kusta dan keluarganya. Warga mulai mau membeli hasil tanaman eks penderita kusta. Kolam air panas yang dulu hanya dipakai warga koloni sekarang ramai dikunjungi pengunjung dari luar desa. (TRI)
  Kembali ke sebelumnya