Isi Artikel |
KETUA Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso membantah adanya pelambatan ekonomi akibat pertumbuhan kredit perbankan yang tidak sesuai harapan pada tahun ini.
Ia menyebut pada awalnya target pertumbuhan kredit mencapai 13%, namun akhirnya direvisi menjadi 11%. Akan tetapi hingga September 2017 pertumbuhan kredit jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year on year/yoy), hanya mencapai 7,8%.
Wimboh mengaku setelah melihat secara detail rendahnya pertumbuhan kredit tersebut dikarenakan beberapa perusahaan BUMN seperti PLN, Pertamina, dan Bulog menurunkan kredit bisnis mereka di perbankan. Itu karena utang subsidi yang dibebankan terlebih dahulu kepada para BUMN tersebut, telah dilunasi pemerintah.
"PLN, Pertamina, Bulog rupanya menurunkan balance kreditnya di perbankan karena realisasi utang subsidi oleh pemerintah sudah dibayar, mungkin untuk mengurangi beban biaya maka kreditnya diturunkan," ujar Wimboh dalam Breakfast Meeting bertajuk 'Prospek Ekonomi Indonesia 2018' yang diselenggarakan PWI di Jakarta, Kamis (2/11).
Jumlah kredit bisnis yang diturunkan oleh para BUMN itu, lanjut Wimboh, cukup signifikan di angka triliun. Sehingga mempengaruhi angka pertumbuhan kredit yang tidak setinggi seperti yang diharapkan.
"Jumlahnya cukup besar ukuran triliun, kalau satu bank bisnis plan kreditnya Rp30 triliun setahun, tapi kalau PLN, Pertamina dan Bulog melunasi Rp10 triliun itu sudah pengarungi besar balance kredit perbankan," ucapnya.
Dengan demikian Wimboh menyebut pertumbuhan kredit perbankan yang lamban itu tidak menakutkan, sebab kondisi ekonomi tetap berjalan sebagaimana mestinya.
"Orang berpikiran ekonomi terganggu tapi (sebenarnya) tidak, pertumbuhan ekonomi masih 5%, penurunan permintaan dalam negeri mungkin ada tapi tidak secara agregat karena angka pajak naik dan GDP naik," tukasnya.
Aktivitas ekonomi, imbuh Wimboh, juga tetap menggeliat. Adanya beberapa ritel yang menutup tokonya menurutnya karena fenomena perubahan dari membeli langsung di mal menjadi membeli secara daring.
"Kebutuhan makan juga tetap ada, sandang jalan, ini fenomena yang sebabkan angka beberapa ritel store itu akhirnya beberapa tutup, tapi permintaan ritelnya masih tinggi. Ini penting sehingga kekhawatiran tidak beralasan karena demand masih ada," pungkasnya. (OL-4)
|