Isi Artikel |
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Sebanyak 41 siswa kiswa kelas 2 SDN Cipinang 01, Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, menerima pelajaran secara lesehan di teras kelas, Senin (29/1). Belajar secara lesehan terpaksa mereka lakukan, karena ruangan kelas rusak. Dari lima kelas yang ada, hanya tiga kelas yang dipakai sisanya tidak layak digunakan, karena plafon runtuh.
Terintegrasinya pendidikan di sekolah, rumah, dan masyarakat diharapkan menciptakan hubungan harmonis yang penting bagi kenyamanan dan keamanan siswa belajar.
JAKARTA, KOMPAS Kekerasan yang melibatkan siswa di sekolah hingga menewaskan guru menjadi pelajaran yang sangat mahal di tengah upaya penguatan pendidikan karakter. Di sisi lain, kejadian tersebut bisa jadi puncak gunung es dari tergerusnya nilai-nilai pengasuhan di sekolah sebagai ruang tumbuh kembang yang kondusif.
”Memang sifatnya kasuistik, tetapi kejadian ini harus dimaknai sebagai introspeksi terhadap pola pengajaran di sekolah,” ujar Said Hamid Hasan, guru besar emeritus dari Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Senin (5/1).
Said menilai, padatnya jadwal pelajaran memungkinkan guru dan murid tergiring pola interaksi mekanistik. Guru dan murid terjebak jadwal dan beban pelajaran sehingga ruang-ruang humanisme tertekan. ”Saatnya diperbanyak interaksi antara guru dan murid di sela-sela jam pelajaran,” kata Said.
Suparman, guru SMA Negeri Jakarta, yang pernah jadi perumus Rancangan Undang-Undang Guru, mendorong perlunya guru memahami hak-hak anak secara utuh sesuai UU Perlindungan Anak ataupun konvensi internasional tentang hak anak. Pemahaman ini dapat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban guru sebagaimana termuat dalam Pasal 20 UU Guru yang mewajibkan guru untuk bertindak obyektif dan terukur.
”Pemberian sanksi berupa kekerasan fisik ataupun verbal hendaknya dihindari karena hal itu dapat memantik energi perlawanan siswa kepada guru berlipat ganda,” kata Suparman.
Pemberian sanksi berupa kekerasan fisik ataupun verbal hendaknya dihindari karena hal itu dapat memantik energi perlawanan siswa kepada guru berlipat ganda
Organisasi-organisasi profesi guru bersama dengan lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) tidak saja berkewajiban mengubah paradigma berpikir guru agar lebih berperspektif anak melalui berbagai pelatihan, tetapi juga wajib membuat panduan praktis tentang pembelajaran yang berperspektif anak.
Dia juga mengingatkan, di zaman serba digital ini pemerintah bersama organisasi guru dan masyarakat perlu memetakan aspek eksternal yang berdampak negatif terhadap pertumbuhan moralitas anak. Literasi media penting digalakkan agar anak tidak terpapar konten kekerasan, baik melalui televisi maupun gawai.
Ramah anak
Psikolog pendidikan Najeela Shihab menambahkan, untuk mewujudkan sekolah ramah anak, perlu dilakukan sejumlah strategi mendasar, misalnya pendidikan keluarga (melibatkan orangtua dalam kegiatan belajar-mengajar dan meningkatkan kapasitas pengasuhan mereka di rumah). Itu bisa dilakukan dengan menggerakkan komunitas peduli keluarga atau pengasuhan. Bagi para guru, harus terus dilakukan peningkatan kompetensi guru untuk lebih memahami murid, misalnya keterampilan menumbuhkan disiplin tanpa kekerasan terhadap siswa. Manajemen sekolah juga perlu ditata agar orangtua dan masyarakat lebih terlibat sebagai komunitas peduli, bukan hanya untuk anak masing-masing.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi mengatakan, tantangan guru sebagai pendidik di era sekarang ini kian berat. Guru kerap diperhadapkan dengan siswa. Upaya pendisiplinan dan pembinaan yang dilakukan guru disorot tajam dan mudah diviralkan di media sosial. ”Kami tidak ingin dimanja, tapi jangan pernah dikotomikan guru dan siswa. Kami sama-sama berkomitmen mewujudkan perlindungan anak dan guru,” kata Unifah.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mengatakan, melalui penguatan pendidikan karakter, nilai-nilai baik dalam diri siswa dan guru dikuatkan kembali. ”Hidupkan peran tripusat pendidikan, yakni sekolah, keluarga, dan masyarakat,” kata Muhadjir.
(ELN/NAR)
|