Isi Artikel |
JAKARTA — Kewenangan pemeriksaan yang dilakukan Ditjen Pajak akan mendapat penguatan dalam revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Meski demikian, kalangan pengusaha menentang rencana tersebut.
Dalam Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) UU KUP yang diterima Bisnis, Pasal 59 ayat 1 RUU KUP menjelaskan bahwa Ditjen Pajak bisa melakukan pemeriksaan berulang-ulang jika pajak yang kurang bayar jumlahnya lebih besar dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB).
“Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan kurang bayar masih dapat diterbitkan, dalam hal pajak yang kurang dibayar jumlahnya lebih besar dari kekurangan pembayaran pajak yang telah ditetapkan,” tulis pasal tersebut.
Dalam penjelasan pasal tersebut dinyatakan bahwa pemeriksaan kembali dilakukan jika terdapat data lain yang menunjukkan bahwa terdapat kewajiban yang belum terpenuhi. Kepala Lembaga berwenang menerbitkan Surat Ketetapan Pajak yang menyatakan kurang bayar untuk menagih pajak yang tidak atau kurang dibayar tersebut.
Meski demikian, Surat Ketetapan Pajak tersebut tidak dikenai sanksi administratif jika SKP diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Pembayar Pajak atas kehendak sendiri atau Pembayar Pajak tidak sedang dilakukan Pemeriksaan Pajak, Pemeriksaan Bukti Permulaan, atau Penyidikan Pajak.
Arif Yanuar, Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak, mengatakan bahwa pertimbangan rencana implementasi skema itu atas dasar proses pembenahan mekanisme pemeriksaan yang sedang digenjot Ditjen Pajak. Dia mengakui, selama ini banyak kasus sengketa pajak dimenangkan WP lantaran kelemahan dalam proses pemeriksaan.
“Yang jelas proses pemeriksaan berdasarkan informasi-informasi yang valid. Jadi tak akan terjadi lagi pemeriksaan yang didasarkan oleh data yang absurd,” kata Arif belum lama ini.
Ajib Hamdani, Ketua Hipmi Tax Center, keberatan dengan rencana penambahan kewenangan pemeriksaan otoritas pajak tersebut. Penerbitan SKPKB, kata dia, sangat bertentangan dengan prinsip self assessment dalam sistem perpajakan nasional.
“Dari hal itu, aspek kepastian hukum bagi WP sangat kurang,” jelasnya.
Pada bagian lain, implementasi Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER - 18/PJ/2017 tentang Tata Cara Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah atau Bangunan dan Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah atau Bangunan Beserta Perubahannya, mendapat penolakan dari kalangan pembuat akta tanah lantaran minimnya sosialisasi.
Kalangan pembuat akta tanah menganggap, beleid baru itu menyulitkan eksekutor di lapangan karena mendadak dikeluarkan tanpa sosialisasi terlebih dahulu. Di samping itu, persyaratannya juga terlalu berbelit-belit. (Edi Suwiknyo)
|