Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Penyandang Disabilitas Mental: Stigma Hambat Proses Perawatan
Tanggal 21 Februari 2018
Surat Kabar Kompas
Halaman 14
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel DEONISIA ARLINTA UNTUK KOMPAS (kiri-kanan) Peneliti Komnas HAM dan pemerhati disabilitas Yossa Nainggolan, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Muhammad Choirul Anam, dan Anggota Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia Lily Puspitasari (paling kanan) menjadi narasumber dalam konferensi pers bertajuk “Menolak Keras Segala Bentuk Stigma dan Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial/ODGJ,” di Jakarta, Selasa (20/2). JAKARTA, KOMPAS— Stigma masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa atau ODGJ menjadi kendala utama dalam proses perawatan yang diberikan. Akses pasien untuk mendapatkan fasilitas layanan kesehatan jiwa menjadi terbatas. Padahal, dengan perawatan yang tepat, penyandang gangguan mental bisa beraktivitas seperti biasa. Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Muhammad Choirul Anam menyampaikan, sebagian besar masyarakat masih menganggap penyandang disabilitas mental mengganggu ketertiban masyarakat, membahayakan lingkungan, dan suka mengamuk. “Stigma ini membuat penyandang disabilitas mental selalu dipersalahkan, bahkan dianiaya,” ujarnya dalam jumpa pers bertema “Menolak Keras Segala Bentuk Stigma dan Diskriminasi terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial/ODGJ,” di Jakarta, Selasa (20/2). Menurut Anam, stigma tersebut justru menghambat akses layanan kesehatan yang perlu didapatkan oleh penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Contohnya, masih banyak warga memasung orang dengan gangguan jiwa. Padahal, konsumsi obat rutin serta penanganan yang tepat dapat membantu ODGJ menjalankan fungsinya sebagai orang berpengharapan dan berkemampuan seperti manusia lain. DEONISIA ARLINTA UNTUK KOMPAS Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Muhammad Choirul Anam (tengah) Lily Puspitasari, anggota Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJSI) berharap, stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa bisa dihilangkan di masyarakat. Istilah orang gila menjadi salah satu hal yang paling ditekankan untuk tidak lagi digunakan. “Banyak pasien bisa pulih, beraktivitas mandiri, dan mendapat pekerjaan seperti biasa dengan mengonsumsi obat dan mendapat layanan psikososial yang tepat. Stigma justru memperburuk keadaan,” katanya. Selain stigma, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas mental masih ditemukan di masyarakat. “Salah satu diskriminasi itu terkait pemenuhan hak individu untuk ikut berpartisipasi politik dalam pemerintahan,” ujarnya. Bentuk diskriminasi tersebut, termuat dalam Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 231/PL.03.1-kept/06/KPUXII/2017 yang mengatur tentang petunjuk teknis standar kemampuan jasmani dan rohani serta standar pemeriksaan kesehatan jasmani dan rohani serta bebas narkotika pada pemilihan kepala daerah (pilkada). Syarat tersebut dinilai diskriminatif dan dapat menggugurkan calon yang menyandang disabilitas. Ketentuan ini secara tidak langsung juga bertentangan dengan Peraturan KPU Nomor 3/2017 yang menyebut harus ada perlakuan yang sama bagi calon yang menyandang disabilitas dan akan dipilih dalam pilkada. Peneliti Komnas HAM dan pemerhati disabilitas, Yossa Nainggolan mengatakan, akar persoalan yang membuat diskriminasi ini terus dipertahankan karena adanya stigma dari masyarakat. Kondisi ini perlu dilawan dan diakhiri dengan penggunaan konotasi gangguan jiwa yang lebih baik. “Kami minta semua aparatur negara dan masyarakat tidak lagi menggunakan istilah negatif seperti sebutan orang gila. Hal ini membuat tujuan dari keberlangsungan hidup penyandang disabilitas mental menjadi lebih baik tidak tercapai,” katanya. DEONISIA ARLINTA UNTUK KOMPAS Peneliti Komnas HAM dan pemerhati disabilitas, Yossa Nainggolan. Peran penegak hukum Anam juga menegaskan, fenomena kekerasan yang marak saat ini dengan pelaku yang diidentifikasi sebagai penyandang disabilitas mental juga perlu diusut hingga tuntas. Penegak hukum khususnya aparat kepolisian harus mengklarifikasi masalah tersebut hingga tuntas. “Fenomena ini menimbulkan pertanyaan bagi banyak masyarakat karena terjadi bersamaan dalam jangka waktu berdekatan.  Pelakunya diidentifikasikan sebagai penyandang disabilitas mental. Jika tidak, stigma akan semakin banyak muncul untuk penyandang disabilitas mental,” kata Aman. Beberapa peristiwa tersebut adalah penyerangan terhadap ulama pemimpin Pondok Pesantren Al Hidayah di Masjid Al Hidayah, Cicalengka, Bandung, Jawa Barat; penyerangan terhadap pastur yang sedang memimpin ibadat di Gereja St. Lidwina, Sleman, Yogyakarta; dan penyerangan terhadap ulama di Lamongan, Jawa Timur. Dari ketiga peristiwa ini pelaku penyerangan diidentifikasikan sebagai ODGJ yang mengamuk. (DD04)
  Kembali ke sebelumnya