Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Subsidi pupuk terutang yang ditanggung pemerintah menumpuk. Akumulasi sejak tahun 2014 sampai akhir tahun ini akan mencapai Rp 21,5 triliun. Sudah begitu, pemerintah juga harus membayar bunganya. Semua ini menjadi beban anggaran negara setiap tahun.
"Penyebabnya adalah karena perencanaannya kurang tepat. Dan ini biasa, seperti halnya subsidi BBM. Persoalannya, deviasinya lebar," kata Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani setelah rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Jakarta, Kamis (23/6).
Deviasi antara perencanaan dan realisasi yang lebar tersebut, menurut Askolani, membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ini terjadi setiap tahun. Untuk itu, pemerintah sedang melakukan kajian terhadap model subsidi pupuk. Subsidi yang ditujukan ke petani ini bentuknya adalah subsidi pupuk. Artinya, uang subsidi digelontorkan ke pabrik pupuk. Model yang sedang dikaji pemerintah adalah subsidi langsung ke petani.
"Ada rencana subsidi langsung ke petani. Namun, ini masih dalam kajian. Mungkin belum bisa diterapkan di 2017. Saya tak tahu persis. Yang pasti, tergantung kajiannya nanti," ujar Askolani.
Volume subsidi pupuk per tahun ditetapkan berdasarkan rekonsiliasi dari rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) tani se-Indonesia. Selanjutnya volume dikombinasikan dengan asumsi harga menghasilkan anggaran yang harus dialokasikan ke dalam APBN.
Setelah periode anggaran berakhir, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) akan mengaudit realisasinya. Hasilnya, minimal tiga tahun terakhir, selalu disebutkan adanya kurang bayar pemerintah ke pabrik pupuk.
Audit BPK
Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian Hari Priyono, dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Rabu malam, menyatakan, utang subsidi pupuk tahun 2014 hasil audit BPK adalah Rp 7,4 triliun. Utang subsidi pupuk tahun 2015 hasil audit BPK adalah Rp 7,5 triliun.
Sementara, tahun ini, Kementerian Keuangan memperkirakan kurang bayar subsidi pupuk Rp 6,6 triliun. Perhitungannya, kuota subsidi pupuk sebanyak 9,5 juta ton. Padahal, kebutuhannya mencapai 11 juta ton. Artinya, akumulasi utang subsidi pupuk per akhir tahun ini mencapai Rp 21,5 triliun.
"Apabila diakumulasikan ke 2017, sudah barang tentu akan menjadi beban besar. Oleh karena itu, kami usulkan pada 2016 kurang bayar 2014 dicicil. Apabila tidak dicicil, beban bunganya cukup tinggi. Dari total kurang bayar Rp 14,9 triliun untuk tahun 2014 dan tahun 2015, bunganya bisa Rp 1 triliun sendiri. Bunga berbunga," tutur Hari.
Anggaran subsidi pupuk tahun ini Rp 30,1 triliun. Utang subsidi pupuk tahun 2014 tersebut diusulkan dianggarkan pada tahun ini. Dengan demikian, anggaran subsidi pupuk pada RAPBN-P 2016 menjadi 37,5 triliun.
Meski demikian, rapat panitia kerja belanja pemerintah pusat menyepakati, usulan tambahan anggaran untuk utang subsidi pupuk 2014 tersebut dicoret. Rapat panitia kerja belanja pemerintah pusat terdiri dari unsur Badan Anggaran DPR dan Kementerian Keuangan.
Kementerian Pertanian merupakan kuasa pengguna anggaran. Sementara pengguna anggaran adalah Kementerian Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN). Dengan demikian, anggaran masuk dalam program Bagian Anggaran BUN.
Wakil Ketua Banggar DPR dari Fraksi PDI-P Said Abdullah mempertanyakan model subsidi barang yang terus dilakukan pemerintah. Ia menilai sistem itu tidak menguntungkan petani sehingga semestinya diubah ke subsidi langsung.
"Subsidi pupuk besar anggarannya. Siapa selama ini yang diuntungkan? Yang jelas, pupuk sering kali datang setelah lewat musim tanam," kata Said. (LAS)
|