Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan bea masuk Amerika Serikat akan menimbulkan retaliasi atau tindakan balasan dari negara- negara terdampak. Hal itu dikhawatirkan bakal membuat pertumbuhan ekonomi global tahun ini terkoreksi turun. Perekonomian negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, pun tak luput bakal terkena imbas.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto yang ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (6/3), memprediksi dampak yang mungkin muncul adalah membanjirnya produk baja negara lain ke Indonesia. Oleh karena itu, perlu dirumuskan langkah penyelamatan yang efektif.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong menambahkan, ”Buat Indonesia, dampaknya tidak langsung. Namun, perlu dikhawatirkan sebagai dinamika tren kebijakan di dunia.”
Menurut Lembong, kondisi ini makin mendesak Indonesia untuk meningkatkan daya saing ekonomi demi mengatasi segala rintangan. ”Tidak ada cara lain, tidak ada jalan pintas, selain meningkatkan daya saing,” katanya.
Tidak ada cara lain, tidak ada jalan pintas, selain meningkatkan daya saing.
Secara terpisah, ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, berpendapat, sikap proteksionisme AS melalui kenaikan tarif masuk pada komoditas perdagangan akan diganjar retaliasi negara-negara mitra dagangnya. Tindakan saling balas ini akan memicu efek domino secara global.
Korban paling signifikan adalah negara-negara Asia, terutama negara-negara berkembang yang sangat mengandalkan perdagangan internasional. ”Setidaknya akan ada koreksi pertumbuhan ekonomi global sebesar 0,5-0,8 dari yang diproyeksikan Dana Moneter Internasional (IMF) sebesar 3,9 persen pada tahun ini,” kata Fithra.
Indonesia, kata Fithra, merupakan mitra dagang tradisional AS dan China. Perang dagang kedua negara itu pun akan berdampak ke Indonesia. Efek kontraksinya diperkirakan akan berpengaruh minimal 0,1-0,2 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati mengemukakan, kendati Indonesia bukan negara penyuplai utama produk besi baja dan aluminium ke AS, pemerintah tetap memantau perkembangan isu itu. Jika kebijakan itu final diberlakukan AS, Indonesia berpotensi kebanjiran impor produk baja dan aluminium dari China. Hal itu akan mengancam keberlangsungan industri baja dan aluminium Indonesia.
”Selain baja dan aluminium, beberapa produk yang perlu diantisipasi akan dikenai bea masuk tinggi adalah produk elektronik, tekstil, dan pakaian, serta kimia. Produk-produk dari Indonesia itu defisitnya terhadap neraca perdagangan AS lebih besar dibandingkan dengan baja dan aluminium,” kata Pradnyawati.
Untuk produk baja, kata Pradnyawati, saat ini terdapat beberapa produk yang sudah terhadang bea masuk tinggi karena pengenaan bea masuk antidumping dan bea masuk imbalan (subsidi). Kementerian Perdagangan mencatat, total nilai perdagangan Indonesia-AS pada 2017 mencapai 25,91 miliar dollar AS. Nilai itu naik 10,53 persen dibandingkan dengan 2016 yang tercatat 23,44 miliar dollar AS. Dari total itu, surplus untuk Indonesia sebesar 9,66 miliar dollar AS.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Roberto Azevedo meminta negara anggota WTO mencegah dampak efek domino dalam perang dagang. Azevedo juga mengingatkan adanya risiko nyata yang akan memicu eskalasi hambatan dan resesi perdagangan global.
Pemerintah Jepang pun mengingatkan AS bahwa ekspor baja dan aluminium dari Jepang selama ini turut membantu perekonomian AS. Menurut Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang Hiroshige Seko, bantuan industri Jepang bagi keberlanjutan kehidupan masyarakat AS itu nyata. Ia menilai ekspor baja dan aluminium dari Jepang juga tidak memengaruhi keamanan nasional AS.
Di AS, perdebatan publik atas rencana kebijakan itu kian panas. Sejumlah politisi khawatir kebijakan itu bakal memicu perang dagang sengit yang justru merugikan pemerintah dan warga AS. Mereka meminta Gedung Putih membatalkan rencana penerapan kebijakan itu. (AP/REUTERS/HEN/CAS/BEN/NDY/HAR)
|