Isi Artikel |
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (kiri) didampingi Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro (kanan) memberikan keterangan pers tentang RAPBN 2016 di Jakarta, Jumat (14/8)
Momentum perubahan postur APBN 2016 nyatanya tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk melakukan konsolidasi fiskal yang lebih realistis. Lubang risiko fiskal diklaim mampu tertutup dengan rencana kebijakan pengampunan pajak.
Dinamika pembahasan yang terjadi di kompleks parlemen mengarah pada penyempitan defisit anggaran. Maklum, pemerintah mengusulkan defisit 2,48%, melebar dari patokan APBN induk 2,15% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Setelah melewati pembahasan beberapa kali, defisit anggaran dalam postur sementara RAPBN Perubahan disepakati 2,35%. Sayang, mitigasinya tidak komprehensif antara kantong penerimaan dan pengeluaran.
Guna mempersempit defisit, pemerintah dan DPR hanya fokus mengotak-atik kantong penerimaan untuk mencari tambahan. Caranya, mereka mengotak-atik asumsi yang berhubungan dengan migas dan carry over subsidi.
Asumsi harga minyak Indonesia, lifting minyak, dan lifting gas dikerek lebih optimistis dibandingkan dengan usulan awal pemerintah. Ketiga asumsi itu ditetapkan secara berurutan US$40 per barel, 820.000 barel per hari, dan 1,15 juta barel setara minyak per hari.
Pada saat yang bersamaan, cost recovery disepakati turun dari usulan US$11 miliar menjadi US$8 miliar. Besaran pembayaran subsidi bahan bakar minyak dan listrik yang di-carry over senilai Rp46,4 triliun, melonjak dari pagu induk sekitar Rp22,3 triliun.
Di satu sisi, penerimaan yang berasal dari komoditas nonmigas, terutama pajak justru tidak mengalami perubahan dari usulan pemerintah. Bahkan, dengan adanya rencana tax amnesty, pemerintah memasang target penerimaan pajak penghasilan (PPh) nonmigas 48,3% dari realisasi tahun lalu.
Alhasil, ada tambahan pendapatan negara bersih sekitar Rp49,9 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar Rp16,6 triliun digunakan untuk mempersempit defisit. Langkah ini pada gilirannya mengurangi pagu pembayaran bunga utang sekitar Rp0,5 triliun karena ada pengurangan rencana penerbitan surat berharga negara (SBN).
Sisanya, sekitar Rp33,8 triliun langsung masuk ke kantong pengeluaran lagi dengan perincian tambahan anggaran pendidikan Rp6,8 triliun, anggaran kesehatan Rp1,6 triliun, belanja kementerian/lembaga (K/L) Rp18 triliun dan dana transfer ke daerah Rp7,4 triliun.
Terkait dengan hasil tersebut, khususnya dari sisi penerimaan, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro tidak menyebut secara tegas sudah realistis atau tidaknya postur baru ini. “Kami berupaya. Semua tidak bisa berjalan langsung otomatis.”
Bagaimana dengan sisi belanja keseluruhan? Sebenarnya nyaris tidak ada banyak perubahan. Apalagi, dari awal DPR sudah menilai pemangkasan pagu belanja berisiko menghambat beberapa proyek.
Perubahan hanya terjadi pada pengematan belanja Kementerian Kelautan dan Perikanan Rp0,6 triliun serta Kementerian Pariwisata Rp0,4 triliun. Selain itu, ada penundaan pembayaran (carry over) subsidi pupuk Rp7,4 triliun.
Ketiga pos tersebut langsung dialokasikan ke belanja K/L, dana alokasi khusus, dan cadangan belanja pemerintah pusat. Mayoritas tambahan belanja dialirkan ke K/L yang berada di garis koordinasi dengan Kemenko Polhukam.
Secara keseluruhan, pagu belanja pemerintah pusat senilai Rp1.306,7 triliun, naik sekitar Rp17,2 triliun dari usulan awal Rp1.289,5 triliun. Dari jumlah tersebut belanja kementerian/lembaga (K/L) naik sekitar Rp24,3 triliun dari awal pemerintah Rp743,5 triliun menjadi Rp767,809 triliun. Sementara, belanja non K/L turun sekitar Rp7,1 triliun.
Askolani, Dirjen Anggaran Kemenkeu mengatakantambahan belanja yang disepakati berbeda dengan pagu kegiatan belanja dalam rencana pemangkasan awal sekitar Rp50 triliun. Pagu tambahan digunakan untuk alokasi belanja yang lebih produktif.
Tidak salah. Apalagi jika dari awal mengatakan belanja produktif. Namun, momentum yang digunakan untuk konsolidasi fiskal tidak menjadi tidak diambil karena target penerimaan masih terlalu ambisius dengan nafsu belanja yang besar. Kondisi ini persis tahun lalu.
Tax Amnesty
Tumpuan penerimaan sangat besar di rencana kebijakan tax amnesty. Rencana pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak pun terus molor. Teranyar, rencana payung hukum itu dijadwalkan disahkan pekan ini, berdekatan – atau mungkin berbarengan – dengan pengesahan RUU APBN Perubahan 2016.
“Senin (27/6) diplenokan di tingkat komisi . Selasa diparipurnakan,” ujar Hendrawan Supratikno, anggota komisi XI dari Fraksi PDIP.
Anggota Komisi XI dari Fraksi Partai Golkar, M. Misbakhun mengatakan tim perumus sudah menyelesaikan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Pajak terbaru setelah melewati pembahasan tertutup di tingkat panitia kerja (panja).
Kendati masih akan dibahas lebih lanjut di tingkat rapat kerja dengan menteri keuangan, tim tersebut mengusulkan dua skema tarif tebusan. Pertama, tarif tebusan untuk deklarasi sebesar 4%, 6%, dan 10% yang berlaku tiap tiga bulan.
Kedua, tarif tebusan repateriasi sebesar 2%, 3%, dan 5%. Selain itu, dalam pembahasan fada pula tarif tebusan bagi UMKM yang akan ikut deklarasi sebesar 0,5% .
Pemerintah telah memasukkan target penerimaan pajak dari tax amnesty sekitar Rp165 triliun. Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Sofjan Wanandi mengaku tidak masalah ada target penerimaan dari tax amnesty yang sudah dimasukkan dalam RAPBN Perubahan 2016.
Namun, karena jumlahnya belum pasti, seharusnya ambil angka yang konservatif. “Kami anggap itu memang masih terlalu tinggi mungkin. Tapi, Kementerian Keuangan punya keyakinan bisa. Ya sudah, kita serahkan ke Menkeu. Kalau saya selalu melihat angka-angka yang begitu tinggi itu kita mesti hati-hati,” jelasnya.
Memang, hingga saat ini kita masih meraba-raba berapa potensi penerimaan yang diambil dari tax amnesty. Namun, suara target Rp165 triliun yang terlalu tinggi hingga saat ini masih lebih banyak.
Celakanya, ada usulan perpanjangan periode implementasi tax amnesty hingga Maret 2016. Hal ini berarti ada potensi penerimaan yang bisa jadi masuk ke tahun depan. Memang, pemerintah berulang kali menyebut telah mempunyai amunisi lain jika tax amnesty tidak terlalu nendang.
Tinggal menunggu pembuktian karena segala masukan yang telah diserukan seakan mental. Namun, perlu kita ingat peribahasa ini hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali.
|