Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Efek domino perang dagang Amerika Serikat melalui peningkatan bea masuk baja dan aluminium mulai dirasakan. Dua di antaranya adalah penurunan harga minyak mentah dan harga saham.
Penurunan harga minyak mentah dikhawatirkan berkelanjutan dan berdampak pelemahan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO). Sikap proteksi AS itu juga berpotensi mengurangi permintaan ekspor energi negara- negara produsen baja dan aluminium. Pada Rabu (7/3), harga minyak mentah Brent dan West Texas Intermediate (WTI) turun 0,8 persen dan 0,75 persen. Harga minyak mentah Brent turun 51 sen dollar AS jadi 65,28 dollar AS per barrel dan WTI turun 47 sen dollar AS jadi 62,12 dollar AS per barrel.
Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Fadhil Hasan mengatakan, penurunan harga minyak mentah itu merupakan dampak psikologis pasar atas strategi perang dagang AS. Para pelaku usaha CPO khawatir hal ini berkelanjutan dan akan menurunkan harga CPO.
”Saat ini memang masih belum berdampak pada harga CPO. Saya berharap penurunan harga minyak mentah ini hanya reaksi sementara pasar dan tidak berkelanjutan,” kata Fadhil.
Sejumlah analis pasar di Washington DC menilai, penurunan harga minyak mentah juga dipicu mundurnya penasihat ekonomi Presiden AS Donald Trump, Gary Cohn. Mundurnya Cohn juga dianggap memicu penurunan 1 persen S&P 500 berjangka pada Rabu. Indeks S&P 500 terdiri dari saham 500 perusahaan besar, kebanyakan dari AS.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengemukakan, pasar keuangan menilai langkah AS tidak tepat bagi industri otomotif dan infrastruktur yang membutuhkan baja murah impor.
Dampak
Sementara dampak langsung langkah proteksi AS itu ke produsen baja Indonesia dinilai tidak terlalu besar. Ekspor besi baja Indonesia ke AS pada 2016 tercatat sebesar 43,7 juta dollar AS setara Rp 603,4 miliar. ”Dampaknya bagi produsen aluminium juga tidak terlalu besar. Nilai ekspor aluminium Indonesia ke AS pada 2016 sebesar 116.000 dollar AS atau Rp 1,6 miliar,” katanya
Namun, Bhima mengingatkan, perlu dicermati perang dagang ini secara tidak langsung bisa memengaruhi volume ekspor komoditas energi batubara dan minyak mentah ke negara-negara penghasil baja dan aluminium. Ekspor energi, khususnya batubara, ke China diprediksi turun.
Apalagi, ekonomi China ditargetkan hanya tumbuh 6,5 persen tahun ini, lebih rendah dari realisasi 2017 sebesar 6,8 persen. ”Perubahan permintaan industri China akan memengaruhi nilai ekspor produk migas dan nonmigas Indonesia,” ujar Bhima.
Penurunan ekspor komoditas dan energi akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia. Hal ini juga berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan, untuk mengantisipasi berlanjutnya perang dagang, RI perlu lebih optimal mengembangkan negara nontradisional sebagai mitra dagang. Selain itu, RI juga perlu meningkatkan utilisasi perjanjian dagang yang masih rendah. (REUTERS/HEN)
|