Isi Artikel |
DIDIE SW
credit=”didie sw
Bertahun-tahun, merek-merek besar mendominasi pasar industri pangan. Namun, pelan-pelan merek baru dan berskala kecil memasuki pasar. Dengan teknologi digital, mereka berhasil merebut pasar karena model bisnis baru yang ditawarkan lebih efisien dalam menjangkau pasar.
Di Indonesia, pasar minuman kopi tampaknya mulai bergeser, dari semula kafe-kafe berjaringan internasional ke kafe-kafe kecil dan mandiri dengan segala keunikannya. Bahkan, di kota-kota kecil yang belum pernah ada kafe pun, kini banyak berdiri kafe yang buka hingga dini hari. Minuman kopi adalah salah satu pergeseran pasar dari semula hanya dipegang merek besar ke kafe-kafe lokal.
Makanan ringan, roti, kue, makanan berbahan baku cokelat, dan lain-lain juga mulai dimasuki oleh perusahaan-perusahaan kecil. Mereka mengandalkan keterampilan seni dalam membuat produk, mengemas, dan menjual makanan. Belum ada angka-angka yang dipublikasikan mengenai perubahan-perubahan itu. Akan tetapi, perubahan mulai terjadi.
Boston Consulting Group, seperti dikutip Financial Times,menyebutkan, di Amerika dan Eropa, sejak 2011 hingga 2016 telah terjadi pergeseran kue pasar produk konsumer (yang di dalamnya ada produk pangan) dari perusahaan besar ke perusahaan kecil. Pangsa pasar perusahaan kecil yang semula hanya 23 persen kini telah menjadi 26 persen. Pertumbuhan penjualan dan keuntungan perusahaan besar menurun.
Analisis terhadap fenomena ini menyebutkan, produk yang ditawarkan oleh merek-merek baru atau yang dikenal pula dengan nama merek privat lebih murah, keberadaan laman pemasaran daring, dan strategi perang harga yang lebih menarik konsumen. Salah satu keunggulan lainnya adalah perusahaan kecil mudah untuk memproduksi makanan yang diminta secara khusus (customize) oleh konsumen.
Perubahan ini telah menyebabkan sejumlah perusahaan investasi memikirkan ulang rencana-rencana bisnis mereka. Di beberapa perusahaan, mereka meminta pemotongan biaya secara radikal agar produknya kompetitif. Ada juga yang meminta perubahan pengelolaan bisnis segera mungkin. Salah satu dugaan adalah produksi massal makin kurang menarik sehingga investor meminta kajian tentang dugaan itu.
Ada analisis bahwa konsumen yang makan, minum, dan lain-lain adalah mereka ingin terlihat menarik alias bukan sekadar mengonsumsi. Merek-merek privat dan kecil itu ternyata memenuhi keinginan mereka. Hingga saat tampil di media sosial, kebutuhan konsumen itu terpenuhi. Mereka inilah konsumen baru alias kaum milenial yang proporsinya makin besar. Lima tahun lalu, mereka belum dipahami oleh perusahaan-perusahaan besar. Saat itu, para pebisnis besar merasa ketika meluncurkan produk di pasar, konsumen akan segera merubung produk mereka.
Kini, perusahaan besar mulai melihat secara intensif perkembangan merek-merek kecil. Mereka telah melihat pasar yang makin rapuh tak hanya karena nilai tukar, inflasi, pajak, dan lain-lain, tetapi juga karena kehadiran merek-merek penyerang itu. Apalagi, tidak sedikit di antara merek-merek itu yang akan memperbesar skalanya dalam waktu dekat.
Melihat fenomena itu, merek-merek besar di Indonesia pun terancam. Di awal tulisan ini sudah terlihat beberapa pasar industri pangan mulai bersinggungan dengan pendatang baru. Penggunaan teknologi digital memudahkan mereka untuk mencari ide hingga memasarkan produk pangan mereka.
Mereka juga memunculkan model bisnis yang unik sehingga produk mereka bisa bersaing di pasar. Kreasi dalam desain yang dibantu dengan kehadiran akses digital memudahkan mereka mencari ide. Sifat yang cenderung kolaboratif dengan pihak ketiga menjadikan pendatang baru lebih efisien.
Tidak boleh dikesampingkan pula, sekolah-sekolah bisnis di sejumlah tempat telah menghasilkan wirausaha yang bergerak di industri makanan. Sejak mahasiswa, mereka telah mengkreasi produk dan menjalankan usaha. Mereka inilah calon-calon penantang merek-merek besar. Apabila lengah sedikit saja, mereka bisa tumbang. (ANDREAS MARYOTO)
|