Isi Artikel |
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS
Suasana di Indonesia International Furniture Expo 2018, Jakarta, Minggu (11/3). Amerika Serikat masih menjadi pasar utama ekspor industri mebel Indonesia.
JAKARTA, KOMPAS — Para pengusaha mebel di Indonesia harus mulai mengikuti standardisasi produk mebel untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke Amerika Serikat.
Hal itu untuk menekan nilai ekspor mebel yang sempat anjlok selama beberapa tahun terakhir. Selain itu, Amerika Serikat masih menjadi pasar utama ekspor industri mebel Indonesia.
Direktur Divisi Teknis dari US Consumer Product Safety Commission (CPSC) Allyson Tenney menjelaskan, ada beberapa standardisasi keamanan mebel yang akan dibentuk.
”Standardisasi ini akan kami ajukan ke pemerintah untuk melindungi konsumen. Oleh sebab itu, para pengusaha mebel bisa mempersiapkan standar ini, mulai dari tahapan desain produk,” ucapnya dalam seminar ”Overview of Requirements to Sell Furniture in United States” di Jakarta, Minggu (11/3).
Standardisasi ini nantinya harus dipenuhi oleh pengusaha yang ingin mengekspor produk mebelnya ke AS. Menurut Allyson, ada dua kriteria produk mebel yang akan distandardisasi.
”Pertama, produk mebel untuk anak-anak, usia di bawah 12 tahun. Kedua, produk mebel secara umum,” ujarnya.
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS
Suasana beberapa stan pengusaha mebel pada acara Indonesia International Furniture Expo 2018 di Jakarta, Minggu (11/3).
Allyson mengatakan, untuk produk mebel anak, akan sangat ketat standardisasinya. Standardisasi tersebut meliputi bahan material yang mengandung zat-zat beracun seperti cat dan plastik.
”Cat dan plastik ini merupakan salah satu material yang memiliki bahan berbahaya seperti pethalate dan halogen. Persentase kandungannya akan kami atur sehingga bahan baku harus disesuaikan dengan standardisasi,” katanya.
Selain itu, ukuran serta bentuk mebel juga harus disesuaikan agar tidak berbahaya bagi anak-anak. Allyson menjelaskan, beberapa mebel yang riskan menimbulkan kecelakaan adalah tempat tidur bayi yang memiliki rangka pagar di sekelilingnya dan tempat tidur bertingkat.
”Berdasarkan catatan kami, setiap 10 hari, ada satu anak yang meninggal karena kecelakaan mebel di Amerika Serikat. Dengan adanya standardisasi, kami berharap kasus ini bisa berkurang,” katanya.
Manajer Program CPSC untuk Asia Tenggara Arlene Flecha menuturkan, standardisasi untuk produk mebel secara umum akan lebih longgar. Standardisasinya berupa kekuatan serta ketahanan material mebel serta kerentanan mebel akan bahaya kebakaran.
”Spesifikasi ketahanan akan kami lihat, apakah mebel tersebut cocok digunakan untuk masyarakat dari usia berapa. Kemudian, apakah mebel tersebut memiliki ketahanan untuk bisa diwariskan ke beberapa generasi,” katanya.
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS
Allyson Tenney dan Arlene Flecha
Arlene menuturkan, nantinya akan ada sertifikasi berupa Children’s Product Certificate (CPC) dan General Certificate of Conformity (GCC). Pengusaha mebel harus mendapatkan sertifikasi tersebut setelah melakukan uji lab dari pihak ketiga terkait standardisasi produk mebel ini.
”Pengujian tidak harus dilakukan di AS, akan ada pihak ketiga ini akan disebar di sejumlah negara. Selain itu, harus ada standardisasi secara bertahap, dalam waktu tiga tahun produk tersebut sudah harus uji laboratorium dengan standard ISO/IEC 17025:2005,” katanya.
Ahli kimia dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Saeful Rohman, mengatakan, standardisasi ini tentunya akan sulit dipenuhi oleh para perajin mebel di Indonesia.
”Sebagian besar perajin baru mampu menguji kekuatan mebelnya, belum sampai pada aspek pengujian kandungan racun dalam mebel,” ucapnya.
Saeful menjelaskan, hal ini nantinya akan memperumit ekspor mebel Indonesia ke AS. Padahal, berdasarkan Kompas, 24 Januari 2017, AS masih menjadi negara tujuan utama ekspor mebel Indonesia.
Ekspor mebel dari Indonesia ke AS sekitar 40 persen dari total ekspor nasional. Ekspor ke sejumlah negara Uni Eropa berkontribusi sekitar 50 persen. Selebihnya adalah ekspor ke Timur Tengah, Asia, Afrika Selatan, dan sedikit ke Amerika Latin.
Saeful mengatakan, standardisasi ini tentunya akan menambah biaya produksi bagi perajin. Menurut dia, untuk sekali uji laboratorium bisa memakan biaya Rp 500.000 untuk satu produk dan satu material yang diuji.
Saeful juga menambahkan, hal ini akan mempersulit membedakan antara para eksportir yang jujur dan eksportir yang bermain di pasar gelap.
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Soenoto.
”Kalau begini, tentunya akan kasihan para perajin kecil. Harus ada yang mampu menanggung pertambahan biaya ini,” katanya.
Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Soenoto menjelaskan, ia optimistis para pengusaha dan perajin dapat mengikuti standardisasi itu.
”Mau atau tidak mau, nantinya standardisasi tersebut akan diterapkan di industri mebel global. Sudah bukan zamannya lagi berbisnis mebel secara amatiran, harus profesional,” ucapnya.
Menurut Soenoto, ada dua hal yang dibutuhkan oleh pengusaha mebel, yaitu pembimbingan teknis serta kepastian pasar. Soenoto mangatakan, jika para pengusaha dan perajin dibimbing dengan standardisasi tersebut, mereka mampu memproduksi barang sesuai dengan permintaan pasar.
Terkait dengan adanya penambahan biaya akibat standardisasi, Soenoto menjelaskan, tambahan biaya ini nantinya bisa ditanggung oleh eksportir atau pengepul produk mebel agar tidak membebani perajin.
”HIMKI siap untuk mulai menerapkan standardisasi tersebut. Namun, AS juga harus menerapkan standardisasi ini ke semua negara. Jangan ada diskriminasi, apalagi saat ini industri mebel Indonesia sedang bersaing dengan industri mebel Vietnam,” ucapnya.
Penurunan ekspor
Soenoto menjelaskan, selama beberapa tahun terakhir terjadi penurunan nilai ekspor di bidang mebel. Pada periode Januari-November 2016, nilai ekspor mebel ke AS turun 1,67 miliar dollar AS atau turun sekitar 4 persen dibandingkan periode yang sama 2015. Ekspor mebel Indonesia sepanjang tahun 2015 sebesar 1,903 miliar dollar AS.
DHANANG DAVID UNTUK KOMPAS
Ahli kimia dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Saeful Rohman.
”Kami tetap menargetkan nilai ekspor mebel bisa mencapai 5 miliar dollar AS per tahun. Saingannya adalah Vietnam yang menargetkan nilai ekspor mencapai 6,9 miliar dollar AS per tahun,” katanya.
Menurut Soenoto, penurunan ekspor ini diakibatkan oleh regulasi pemerintah yang cukup rumit. Ia menjelaskan, regulasi tersebut adalah mengenai sistem regulasi legalitas kayu dan ketersediaan bahan baku.
”Indonesia ini memiliki 85 persen produksi rotan dari seluruh dunia. Sementara pemerintah ingin mengekspor rotan mentah tersebut. Seharusnya kita olah rotan tersebut, baru kita ekspor,” katanya.
Kurang perajin
Semakin berkurangnya jumlah perajin menjadi salah satu kendala yang dihadapi oleh industri mebel. Sejumlah sekolah vokasi belum mampu membentuk perajin profesional yang bisa bekerja di bidang industri ini.
”Terjadi pengurangan 5-7 persen perajin mebel setiap tahun. Hal ini harus kami tahan supaya nilai ekspor tetap terjaga,” katanya.
Kepala Pusdiklat Industri dari Kementerian Perindustrian Mujiyono mengatakan, pada 2018 pemerintah akan membentuk Politeknik Industri Mebel dan Pengolahan Kayu di Kendal, Jawa Tengah. Lulusannya nanti akan setara diploma tiga.
DHANANG.DAVID UNTUK KOMPAS
”Dengan dibentuknya politeknik ini, kami berharap bisa menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas untuk memenuhi industri mebel Indonesia. Kurikulumnya, para peserta didik akan mendapat kemampuan teknologi pengolahan mebel serta kajian-kajian dan inovasi terkait mebel,” ucapnya. (DD05)
|