Isi Artikel |
KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO
Sarung palekat awalnya memiliki motif klasik dengan ciri kotak kotak, seperti sarung yang tampak pada foto. Kemudian motif sarung palekat makin bervariasi dan warnanya cerah, tidak lagi dominan warna coklat atau putih
Meski ada yang menilai sejarah perbatikan di Kabupaten dan Kota Pekalongan, Jawa Tengah, sudah ada sejak 1980, sejumlah pengelola industri tekstil dan perajin, Kamis (15/3), saat ditemui justru memperkirakan kerajinan batik di daerah tersebut sudah ada sejak awal abad ke-19. Batik di Pekalongan dinilai berkembang setelah selesainya perang Jawa 1825-1830.
Mulanya, batik di Pekalongan berkembang untuk sarung. Menurut perajin sarung di Pekalongan, Fadly Amin, sarung belum menjadi industri produk tekstil yang mampu memenuhi kebutuhan pasar. Diperkirakan, produksi sarung kurang dari 40 persen dari total kebutuhan pasar. Di Indonesia, pasar sarung sangat terbuka mengingat tidak ada proteksi dari pemerintah.
”Sebaliknya, kalau di Pakistan dan India, produksi sarung dalam negeri sangat diproteksi sehingga sarung impor mustahil bisa masuk ke negara keduanya tersebut. Sarung juga menjadi ciri khas pakaian sehari-hari masyarakat di sana,” ujar Fadly Amin, anggota tim desain PT Dutatex, produsen sarung Sapphire.
Perajin tekstil di Sampangan, Kota Pekalongan, Sarifudin, mengatakan, sarung berkembang pesat hingga 1990. Banyak perajin membuat sarung kelas medium, menyasar konsumen, terutama perkampungan Muslim yang kuat di Jawa.
Bahkan, pada masa 1940-an hingga 1950-an, sarung batik menjadi tren saat itu. Dari produksi sarung dan batik saja di era Soekarno, omzetnya ketika itu bisa mencapai Rp 1,4 miliar yang berasal dari ribuan perajin yang tergabung dalam Koperasi Batik Setono dan Koperasi Batik Pekajangan, Pekalongan.
Dewan Pembina Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Pekalongan Iman Ismanto Bhakti menyatakan, produksi sarung sempat surut yang kemudian membuat industri kecil dan perajin fokus pada usaha batik pada era 1995. Batik terus berkembang sehingga menjadikan Pekalongan sebagai sentra batik pesisiran yang mampu mengimbangi batik Solo, Yogyakarta, Lasem dan Cirebon.
KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO
Tim desain motif sarung PT Dutatex Pekajangan, Fadly (kiri) dan Farhad Amin, menunjukkan corak batik 3D dengan desain lurik khas nusantara, sebagai tren motif sarung 2018.
Banyak motif batik yang tercipta dari imajinasi karya para leluhur, semua bentuk motif asli ataupun motif perpaduan budaya China-Jawa tertuang dalam selembar kain yang indah. Contohnya motif kawung, parang, sekar jagat, dan motif pakem khas keraton.
”Pekalongan punya batik khas, yakni motif jlamrang, juga motif perpaduan khas China, seperti motif bunga yang dipadu corak khas hewan, seperti burung phoenix atau motif naga. ”Motif jlamprang merupakan kumpulan titik yang dominan warna cerah dalam bentuk geometris. Motif ini pengaruhnya dari Arab yang menghindari bentuk benda hidup,” ujar Ismanto.
Dari segi industri sarung, menurut dia, sarung pernah menjadi simbol identitas bangsa. Sarung juga identik dengan penegasan status ekonomi seseorang. Orang kaya tidak mau pakai sarung kodian, istilah untuk menyebut sarung yang harganya murah. Satu kodi harganya hanya Rp 100.000. Kainnya tidak terlalu halus, motifnya sederhana, kotak-kotak, dan warnanya terbatas hanya warna putih, hijau, atau hitam.
Industri sarung kini berpusat di Pekajangan, Banyuurip, Sampangan, dan Kedungwundi di Pekalongan. Ada lima pemain besar yang berebut ceruk pasar sarung di Tanah Air, yakni BHSTex dengan produk sarung Atlas, PT Pismatex menebar sarung Gajah Duduk, Padjitex dengan sarung cap Mangga, PT Sukorintex dengan sarung Wadimor, dan PT Dutatex yang fokus menggarap sarung palekat Sapphire.
Dari sekian pemain produk sarung palekat ini, hampir semua pengusaha sepakat bahwa untuk era sekarang ini produksi sarung terbesar masih dipegang PT Sukorintex yang menggelontorkan sarung cap Wadimor. Diperkirakan, produksinya bisa mencapai 90.000 kodi per bulan atau setara 1,8 juta potong kain sarung setahun. Hal ini membuktikan, sarung tidak hanya sekadar memenuhi ceruk pasar dalam negeri, tetapi setidaknya juga ada 20 persen dari produksi bikinan pabrik tekstil mana pun menerobos ke pasar negara-negara luar, seperti Timur Tengah, Asia Tenggara, dan sebagian Eropa.
Pendiri PT Dutatex Pekajangan, Amin Salim Basmeleh, mengemukakan, meski hanya sarung, selembar kain lebar tetapi menciptakan motif dan corak sarung tidak mudah. Era 1980-an, sarung masih dominan motif kotak-kotak, dengan warna-warna monoton, seperti warga sogan, dominan coklat. Dampaknya, omzet sarung terus menurun karena sarung menjadi identik busana orang tua, hanya layak untuk keperluan ibadah.
Menurunnya omzet sarung karena monotonnya motif, membuat industri tekstil akhirnya melahirkan sarung-sarung yang inovatif, dari segi corak ataupun motif. Sejak 2004, sarung mulai menjadi busana tren seiring warna sarung makin variatif. Anak-anak muda menggemari sarung berwarna cerah, keemasan, atau warna pelangi.
Kemudian, pada 2012 Sapphire mengeluarkan sarung bermotif tikar, motif jacquard dengan warna cerah, yang kemudian mampu mendongkrak omzet penjualan sarung lebih dari 15 persen.
Inovasi atas motif sarung pun terus berkembang. Motif sarung pun dibuat timbul. Corak bunga atau desain abstark di kain sarung dibuat timbul, tetapi tetap mempertahankan ciri corak kotaknya meski kotak menjadi elemen tidak menonjol karena itu hanya dipakai sebagai latar belakang perbedaan motif, disusul dengan sarung yang menonjolkan gradasi warna yang atraktif.
Sekarang ini, motif sarung sudah mulai dibuat 3D atau 4D dengan corak lurik yang menjadi kekayaan khas busana kain lurif di Tanah Air.
Sarung terus bertahan
Dari hasil riset mengenai kebiasaan masyarakat mengenakan sarung, Farhad Amin, periset alumni perguruan tinggi di Malaysia, menyebutkan, ada perbedaan perilaku masyarakat terhadap pemanfaatan sarung di sejumlah daerah di Jawa. Di Jawa Timur, termasuk Madura, masyarakat termasuk pemakai sarung tertinggi di Jawa.
”Sarung bagi masyarakat di Jatim juga Madura merupakan pakaian utama. Artinya, apabila mereka punya celana enam, empat di antaranya sarung dan yang dua itu baru celana panjang. Mau kondangan, beribadah, jagongan, dan pleseiran pun juga pakai sarung yang luwes dipadukan dengan busana santai atau busana resmi,” ujar Farhad Amin.
Sebaliknya, masyarakat di Jabar lebih rendah lagi, tetapi minimal tiap orang punya sarung lebih dari dua potong. Pengguna sarung terendah justru di Jawa Tengah, kalau boleh disebut lima dari pakaian bawah itu, rata-rata hanya satu sarung dan empat lainnya celana panjang.
Bahkan, masyarakat luar Jawa mengenakan sarung-sarung yang diproduksi untuk kategori superpremium. Mereka menjadikan sarung tersebut benda yang sangat berharga, setara nilainya dengan cincin mas kawin. Tidak jarang, sarung-sarung mahal, termasuk juga sarung bugis atau sarung samarinda yang terbuat dari kain sutra, menjadi bagian dari benda berharga untuk hantaran mas kawin dalam tradisi pernikahan masyarakat Indonesia.
Ketua Apindo Pekalongan Agung Triyanto mengatakan, ketika industri tekstil dan usaha batik mengalami kelesuan, justru usaha pembuatan sarung masih terus bertahan. Sarung tidak hanya didomininasi pabrikan, tetapi di perkampungan masih bertahan usaha kecil pembuatan sarung dengan alat tenun bukan mesin yang masih terus bertahan.
KOMPAS/WINARTO HERUSANSONO
Sarung medium dari Pekajangan, Pekalongan, ini dibanderol seharga Rp 350.000 per kodi. Motif dan corak sarung medium ini variatif, seperti Toraja, Minang, Ekspresso dan Raja Ampat.
Industri sarung juga menggerakkan ekonomi masyarakat. Satu pabrik sarung bisa mempekerjakan sekitar 1.000 orang sampai 1.500 orang. Revitalisasi mesin tekstil tidak mengurangi tenaga kerja.
Dari pembuatan sarung saja, industri tekstil menimbulkan pekerja sampingan, yakni kaum perempuan di perkampungan. Mereka yang terampil bisa membuat kotak kemasan, menjahit kain sarung, usaha melipat sarung, dan mencetak merek sarung. Tiap industri setidaknya menghidupi usaha rumahan ratusan orang di 5-7 desa sekitarnya.
Oleh karena itu, industri tekstil di Pekalongan berharap pemerintah terus mendorong pertumbuhan perekonomian di masyarakat agar tradisi masyarakat mengenakan sarung terus bertahan. Jika hal itu terwujud, sarung tetap akan menjadi penopang utama di tengah kelesuan industri tekstil secara umum. Tak heran jika industri teksil di Pekalongan pun mengampanyekan, full day sarungan….
|