Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan industri pengguna garam berharap tidak terjadi perbenturan antara pelaku industri dengan petambak garam terkait importasi garam industri. Apalagi selama ini pelaku industri juga menyerap sebagian besar garam rakyat atau garam produksi dalam negeri.
”Boleh dikata hampir 100 persen garam rakyat diserap oleh anggota kami,” kata Sekretaris Umum Badan Pengurus Pusat Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) Cucu Sutara ketika dihubungi, Minggu (18/3).
Berdasarkan catatan AIPGI, pada kondisi panen garam bagus industri pengguna garam di Indonesia selama ini rata-rata menyerap 1 juta hingga 1,5 juta ton garam dari dalam negeri. Pada 2017, ketika panen gagal, serapan garam sekitar 525.000 ton. Jika musim panen 2018 bagus, ditargetkan serapan garam tahun ini sebesar 1,45 juta-1,5 juta ton.
Terkait kekhawatiran akan adanya perembesan garam industri impor ke garam konsumsi, Cucu mengatakan, perusahaan importir sudah membuat pakta integritas. Pada persetujuan impor pun ada sanksi apabila terjadi pelanggaran.
”Ini pun diperkuat surat pernyataan. Apabila kami melanggar impor garam sehingga tidak sesuai peruntukan, kami siap diberi sanksi, dicabut izinnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, daripada terus berpolemik, pemerintah sebaiknya segera membuat satuan tugas yang beranggotakan semua pemangku kepentingan agar lebih obyektif mencermati persoalan garam. Pemangku kepentingan ini mencakup Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, asosiasi dunia usaha, dan asosiasi petani garam.
”Ini akan berpengaruh terhadap data. Data yang salah akan berakibat pada keluarnya kebijakan yang meleset. Kalau memang data menunjukkan perlu impor, ya, impor. Demikian pula sebaliknya,” ujar Cucu.
Impor garam industri selama ini didasari pertimbangan bahwa garam produksi dalam negeri belum memenuhi standar kualitas atau spesifikasi garam industri.
Keterangan resmi Kementerian Perindustrian, Minggu, menyebutkan industri aneka pangan dan industri chlor alkali plant membutuhkan garam industri dengan kandungan natrium klorida (NaCl) minimal 97 persen. Kandungan lain yang diperhatikan adalah kalsium dan magnesium serta kadar air.
Adapun industri farmasi yang memproduksi infus dan cairan pembersih darah membutuhkan garam dengan NaCl 99,9 persen.
Terkait industri makanan dan minuman, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman mengatakan, kadar air garam yang terlalu tinggi akan merusak produk. ”Garam dengan kadar air di atas 0,5 persen, misalnya akan menjadikan bubuk bumbu menggumpal. Otomatis produk menjadi tidak tahan lama,” kata Adhi.
Pemberdayaan
Gapmmi mendorong pembenahan tata niaga garam untuk kepentingan jangka panjang, termasuk di sisi daya saing industri nasional. ”Kami juga mendukung pemberdayaan produksi garam lokal,” ujar Adhi.
Menurut Adhi, upaya mengurangi ketergantungan garam impor membutuhkan peta jalan yang dibuat bersama. Peta jalan ini untuk menentukan langkah yang harus dilakukan oleh semua pemangku kepentingan terkait untuk menghasilkan garam dengan kriteria yang dibutuhkan industri.
Sebelumnya, penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengendalian Impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri dinilai sejumlah kalangan melemahkan produksi garam rakyat. Peraturan itu antara lain mengalihkan rekomendasi impor garam dari Kementerian Kelautan dan Perikanan ke Kementerian Perdagangan.
Ketua Himpunan Masyarakat Petambak Garam Muhammad Hasan berpandangan, peraturan ini terkesan mengabaikan perlindungan petambak garam yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.
Tahun 2018, Kementerian Kelautan dan Perikanan merekomendasikan impor garam untuk kebutuhan industri total sebesar 2.133.776 ton, dan disalurkan bertahap. Namun, baru dua bulan sejak terbitnya rekomendasi impor garam, pelaku industri garam kembali mengeluhkan kekurangan stok bahan baku. Pemerintah telah menyetujui tambahan impor garam untuk bahan baku industri tersebut.
Bersamaan dengan itu, muncul kekhawatiran pengalihan rekomendasi impor garam bisa dimanfaatkan kelompok tertentu untuk mengimpor sebanyak-banyaknya sehingga menggerus penyerapan garam lokal.
Himpunan Masyarakat Petambak Garam mempertanyakan kekurangan garam impor yang dikeluhkan pelaku industri. ”Pemerintah seharusnya melakukan evaluasi peruntukan impor garam untuk industri,” ujar Hasan.
Ia berpendapat, kebutuhan impor garam itu tidak disertai data kuat tentang berapa kebutuhan riil dan kapasitas terpasang industri garam. Impor garam yang berlebihan juga akan memukul semangat petambak untuk berproduksi. (CAS/LKT)
|