Judul | KOMODITAS PANGAN - Inpres Perberasan Lemah |
Tanggal | 21 Maret 2018 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV - Komisi VI |
Isi Artikel | KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA Pekerja memindahkan beras impor dari atas truk ke Gudang Bulog di Komplek Pergudangan Banjar Kemantren Subdivre Surabaya Utara di Buduran, Sidoarjo, Kamis (1/3). 01-03-2018 JAKARTA, KOMPAS–Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah dinilai lemah. Selain lebih rendah dari harga pasar, harga pembelian gabah dan beras tak proporsional. Akibatnya, Perum Bulog selalu kesulitan menyerap produksi dalam negeri. Guru Besar Sosial Ekonomi Agroindustri Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Maksum Machfoedz dalam diskusi ”Politik Ekonomi dan Tata Kelola Perberasan” yang digelar Pusat Kajian Pertanian Pangan dan Advokasi (Pataka) di Jakarta, Selasa (20/3), berpendapat, kisruh perberasan nasional turut dipicu Instruksi Presiden (Inpres) No 5/2015. Pangkalnya pada harga pembelian pemerintah (HPP) yang di bawah harga pasar dan strukturnya tidak proporsional. ”Bulog akan selalu kesulitan menyerap gabah/beras karena HPP ditetapkan lebih rendah dari harga pasar. HPP tidak punya kebenaran akademis dan empiris. HPP gabah kering giling (GKG), misalnya, Rp 4.650 per kilogram (kg) dan beras Rp 7.300 per kg. HPP beras tak mungkin dicapai dengan HPP GKG sebesar itu,” ujarnya. Harga beras Rp 7.300 per kg dapat dicapai dengan GKG Rp 4.650 per kg. Syaratnya, ongkos giling mesti gratis dan rendemen gabah 63-64 persen. Harga beras sebesar itu juga bisa dicapai dengan ongkos giling Rp 300-Rp 500 per kg, tetapi rendemen gabah mesti 65-68 persen. ”Sayangnya, selama ini belum pernah ada rendemen gabah setinggi itu, umumnya kurang dari 60 persen,” kata Machfoedz Situasi itu membelenggu Perum Bulog. Dampak lain, fungsi stabilisasi harga pangan jadi lemah karena stok beras Perum Bulog dan cadangan beras pemerintah kurang atau minim. Tahun lalu, realisasi pengadaan beras hanya 2,1 juta ton, jauh dari target 3,7 juta ton. Sementara cadangan beras pemerintah hanya sekitar 350.000 ton. Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa menambahkan, regulasi perberasan memunggungi petani. Pada saat Inpres 5/2015 diterbitkan tahun 2015, inflasi sejak 2012 telah mencapai 21 persen, sementara HPP hanya naik 12 persen. Tahun ini, akumulasi inflasi 28 persen, sedangkan HPP 12 persen. Akurat Secara terpisah, Direktur Utama Perum Bulog Djarot Kusumayakti menyebutkan, Perum Bulog menginginkan statistik pangan yang lebih akurat dan independen. Tujuannya, agar Bulog dapat merencanakan dan mengadakan pangan lebih baik. “Bulog membutuhkan dukungan BPS berupa data akurat dan independen,” kata Djarot dalam penandatanganan nota kesepahaman Bulog dengan Badan Pusat Statistik mengenai penyediaan, pemanfaatan, dan pengembangan data dan informasi statistik di bidang pangan di Jakarta, Selasa (20/3). Hadir dalam acara itu, Kepala BPS Suhariyanto. Djarot menambahkan, Bulog sering menghadapi masalah karena ada data yang akurasi dan independensinya belum terjaga. Suhariyanto mengatakan, peran Bulog sangat penting dalam menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan. Untuk itu, perlu dukungan data dan informasi yang berkualitas, terbaru, akurat, dan dapat diakses. Bulog membutuhkan dukungan BPS berupa data akurat dan independen. Impor Djarot menambahkan, Bulog terus merealisasikan impor 500.000 ton beras sesuai izin impor dari Kementerian Perdagangan. Pada Februari 2018, beras impor yang masuk mencapai 261.000 ton. Pada Maret, impor beras dari India 20.000 ton. Bulog juga mengadakan beras impor dari Thailand dan Vietnam sebanyak 139.000 ton. Ada juga beras impor dari India dan Pakistan sebanyak 80.000 ton yang diharapkan masuk ke Indonesia pada Juni 2018. Menurut Djarot, mulai Senin (19/3), Perum Bulog mulai melepas beras impor untuk operasi pasar. |
Kembali ke sebelumnya |