Isi Artikel |
PRAYOGI DWI SULISTYO UNTUK KOMPAS
Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto
JAKARTA, KOMPAS — Industri makanan dan minuman Tanah Air berpotensi menjadi pemain global pada era Industri 4.0 atau era teknologi digital. Syaratnya, Indonesia harus meningkatkan inovasi dan penguasaan teknologi informasi agar bisa menjadi bagian dalam jaringan produksi global atau Global Value Chain (GVC).
Sistem GVC menggabungkan produksi dan distribusi suatu produk secara bersama-sama oleh beberapa negara. GVC terjadi karena adanya revolusi teknologi informasi dan komunikasi serta logistik.
Dalam diskusi bertajuk “Strategi dan Inovasi Sektor Pangan Menjawab Tantangan Era Industri 4.0” di Jakarta, Rabu (21/3), Menteri Perindustrian Airlangga Hartanto mendorong pelaku industri makanan dan minuman mulai beradaptasi pada perubahan teknologi dan peradaban untuk mengembangkan industri makanan dan minuman di era industri 4.0 yang berbasis teknologi digital. “Peningkatan kualitas pendidikan dan inovasi merupakan kunci dari proses adaptasi tersebut,” katanya.
Terkait hal ini, menurut Airlangga, Indonesia akan bekerja sama dengan Singapura dan Australia dalam menciptakan inovasi pengembangan industri makanan dan minuman di Indonesia. “Pemerintah Indonesia telah mendapat tanggapan positif dari pemerintah Singapura,” kata Airlangga.
PRAYOGI.SULISTYO
Ia juga mengatakan, mengacu pada dua negara tersebut, industri makanan dan minuman dapat menjadi komoditi utama e-dagang di tingkat ASEAN. E-dagang mempermudah pelaku industri makanan dan minuman untuk memperluas jaringannya mulai dari produksi hingga distribusi.
Menurut Airlangga, industri makanan dan minuman di Tanah Air terus berkembang. Pada 2017, nilai penanaman modal dalam negeri (PMDN) pada industri makanan dan minuman mencapai Rp 38,5 triliun dan penanaman modal asing (PMA) sebesar 1,97 miliar dollar AS.
Inovasi
Sementara itu, Senior Advisor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Roy Sparringa mengatakan, GVC membutuhkan inovasi dan kemajuan teknologi. Sayangnya, kata Roy, GVC Indonesia masih rendah dan berada di bawah Korea, Malaysia, Meksiko, Thailand, dan China.
PRAYOGI DWI SULISTYO UNTUK KOMPAS
Senior Advisor Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Roy Sparringa
Penyebab rendahnya GVC Indonesia, yaitu lemahnya ketersediaan data dan komersialisasi. Selain itu, lembaga manajemen di Indonesia masih buruk dan tidak ada inovasi, serta penguasaan teknologi juga masih rendah. Roy menegaskan, pemerintah harus segera membenahi kekurangan tersebut untuk meningkatkan GVC Indonesia.
Head of Innovation Development Center Kalbe Yunawati Gandasasmita mengatakan, rumitnya regulasi yang ditetapkan pemerintah seringkali menghambat pertumbuhan industri makanan dan minuman di Indonesia. Padahal, regulasi dibutuhkan untuk meningkatkan konsumsi makanan yang sehat.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara mengatakan, pemerintah dalam proses penyederhanaan regulasi. “Semua perizinan di tingkat pusat dan kota dapat diurus di Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP),” kata Ngakan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) kontribusi industri makanan dan minuman terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada triwulan III pada tahun 2017 sebesar 34,95 persen. Porsi tersebut merupakan yang tertinggi di sektor non migas.
|