Isi Artikel |
KOMPAS/SYAHNAN RANGKUTI
Pelabuhan Dumai semakin strategis di Sumatera dan Indonesia. Dumai merupakan pelabuhan ekspor CPO di Indonesia.
Negara-negara yang mengalami hambatan perdagangan punya amunisi berupa konsep perdagangan yang adil (fair trade). Perdagangan yang adil, ke depan, akan banyak diserukan sebagai respons atas perdagangan yang protektif.
Dahulu, konsep itu baru sebatas pada tukar-menukar barang. Kemudian berkembang menjadi keadilan perdagangan dua negara atau lebih. Ketika perdagangan bebas mulai berkembang, filsuf AS, John Rawls, mematangkan konsep perdagangan yang adil. Negara berekonomi rendah dan lemah harus mendapat perlakuan istimewa untuk menciptakan keadilan.
Dari konsep itulah lahir gerakan sosial dari sejumlah negara Eropa pada 1940-an. Gerakan itu bertujuan untuk menolong produsen kecil (petani, perajin, dan buruh) di negara-negara miskin atau dunia ketiga. Tujuan gerakan itu adalah agar mereka bisa lepas dari jeratan kemiskinan dan mempertahankan keberlanjutan hidup melalui kemitraan perdagangan yang didasarkan pada dialog, transparansi, dan saling menghormati.
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengadopsi konsep itu. Ketika isu pemanasan global mulai berkembang, konsep perdagangan yang adil semakin berkembang.
Perdagangan yang adil tidak hanya menyangkut negara, masyarakat terpinggirkan, tetapi juga lingkungan.
Organisasi Perdagangan yang Adil Dunia (WFTO) merumuskan prinsip perdagangan yang adil itu. Prinsip-prinsip itu, antara lain, menciptakan peluang bagi produsen kecil, mempraktikkan perdagangan yang tidak semata-mata mengejar keuntungan, adil dalam pembayaran, tidak mengeksploitasi tenaga kerja, mengutamakan kesetaraan jender, serta menghormati lingkungan dan hak asasi manusia.
KOMPAS/HENDRIYO WIDI
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjadi pembicara dalam Bisnis Forum Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Buenos Aires, Argentina, Rabu (12/12/2017). Dalam kesempatan itu, Enggartiasto menyatakan Indonesia tengah membangun sistem perdagangan yang transparan dan memudahkan pelaku usaha.
WTO, WFTO, dan banyak negara menyerukan kembali pentingnya perdagangan yang adil di tengah perang dagang yang dipicu AS. Perdagangan bebas yang selama ini terus ditingkatkan dalam skala regional perlu mengadopsi dan mengedepankan konsep dan nilai-nilai perdagangan yang adil.
Dalam kasus minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, Indonesia mengalami hambatan perdagangan dari AS, Norwegia, India, dan kawasan ekonomi Uni Eropa (UE). AS, misalnya, menuding Indonesia melakukan dumping biodiesel dan akan mengenakan bea masuk imbalan sebesar 34,45-64,73 persen.
Adapun UE semula mengenakan bea masuk antidumping (BMAD) sebesar 8,8-23,3 persen atas biodiesel. Pada 16 Maret 2018, UE menghapus BMAD biodiesel Indonesia. Penghapusan dilakukan menyusul keputusan Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (DBS WTO) yang memenangkan enam gugatan Indonesia atas UE.
Namun, Parlemen UE sepakat menekan hingga maksimal 7 persen penggunaan CPO untuk sumber energi terbarukan transportasi sampai 2030. Hal itu menyebabkan ekspor CPO dan produk turunannya ke negara-negara penghambat itu turun.
Ekspor biodiesel ke UE, misalnya, pada periode 2013-2016 turun sebesar 42,84 persen, dari 649 juta dollar AS pada 2013 menjadi 150 juta dollar AS pada 2016. Pada Januari-Februari 2018, neraca perdagangan Indonesia juga defisit.
CPO memang produk ekspor utama yang mendatangkan devisa bagi Indonesia.
Pada 2017, kontribusi CPO terhadap ekspor nonmigas 14,9 persen dan terhadap ekspor 13,5 persen. CPO juga menjadi andalan 22 juta jiwa penduduk yang hidup dari industri kelapa sawit.
Sudah sepantasnya pemerintah dan pelaku industri membela sawit di tingkat internasional.
Indonesia dan pelaku usaha telah memenangi gugatan itu melawan UE, baik di tingkat WTO maupun di Mahkamah UE. Kemenangan itu tidak terlepas dari strategi diplomasi yang fokus pada diskriminasi CPO dari minyak nabati lain. CPO harus diperlakukan adil atau sama dengan minyak nabati lain dari biji bunga matahari, kedelai, dan kanola.
Namun, komitmen pembelaan di tingkat internasional itu belum cukup. Butuh komitmen membela manusia-manusia yang terpapar asap akibat pembukaan lahan sawit. Butuh komitmen membela hutan yang dirusak untuk membuka lahan sawit. Butuh pula keberpihakan pada orangutan yang teraniaya dan terancam punah karena sawit.
Perdagangan yang adil tidak hanya menyangkut bisnis dan manusia yang terpinggirkan, tetapi juga lingkungan dan makhluk hidup. Keadilan ekologis menjadi bagian dari perdagangan yang adil.
|