Isi Artikel |
ELSA EMIRIA LEBA UNTUK KOMPAS
Penjualan kerajinan tangan oleh pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Thamrin City, Jakarta Pusat, Rabu (28/3/2018).
JAKARTA, KOMPAS — Pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM semakin sadar untuk masuk ke dunia e-dagang. Mereka bahkan mengombinasikan penggunaan berbagai platform digital guna menarik minat dan kepercayaan konsumen.
Dalam Data Statistik dan Hasil Survei Ekonomi Kreatif oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, kendala terbesar pelaku usaha ekonomi kreatif adalah pemasaran produk di dalam negeri mencapai 41,89 persen. Baru sekitar 30,39 persen usaha ekonomi kreatif memiliki laman di dunia digital.
Jajang Nurzamza (30), penjual suvenir berhias batik dengan nama toko Batik Njawani, menyebutkan, belum pernah menjalani pendidikan atau pelatihan terkait e-dagang, tetapi berinisiatif sendiri untuk belajar otodidak. Hal tersebut karena ia semakin menyadari pentingnya pedagang kecil untuk terjun ke dunia digital.
”Saya mencari di Google bagaimana cara menjual barang secara daring,” kata Jajang, dalam acara wawancara yang diselenggarakan oleh Google di Jakarta, Rabu (28/3/2018). Menggunakan platform e-dagang dan akun media sosial, Jajang menjual produknya, seperti pulpen, kipas, gantungan kunci, dan hiasan.
Jajang yang berjualan di daerah Jakarta Pusat menyatakan, ia memanfaatkan platform e-dagang, seperti Tokopedia, sebagai tempat utama berjualan barang. Namun, ia menggunakan media sosial Instagram untuk mempromosikan barang dagangannya.
Ketika pelanggan tertarik, ia akan mengarahkan pelanggan untuk memeriksa dagangannya melalui Tokopedia. Selain itu, ia juga mesin pencari Google BisnisKu untuk memvalidasi keberadaan tokonya agar pelanggan semakin yakin.
ELSA EMIRIA LEBA UNTUK KOMPAS
Jajang Nurzamza (30), penjual suvenir berhias batik di Thamrin City, Jakarta Pusat, Rabu (28/3/2018).
Menurut Jajang, masuk ke dunia digital memberikan akses yang selama ini tidak ia peroleh. Ia bahkan menerima pesanan dari sejumlah negara, seperti Belgia, Amerika Serikat, Australia, dan Malaysia. Ia mengaku pernah kebingungan karena banyak pesanan yang diterima, tetapi mereka belum pernah bertemu. Beberapa pelanggannya bahkan langsung mengirim uang pembayaran.
Dalam sebulan, Jajang dapat menghasilkan rata-rata Rp 10 juta jika berjualan fisik. Ia memperoleh penghasilan tambahan Rp 10 juta ketika berjualan secara daring.
Selain Jajang, terdapat Farida Liem Soge (27) yang juga berjualan produk dari kain batik di daerah Jakarta Pusat. Farida memiliki strategi yang berbeda ketika berjualan secara daring.
Misalnya, ketika ia ingin menjual suatu tas batik, tas dengan desain dan produksi sendiri akan ia hargai tinggi. Namun, ketika tas tersebut memiliki desain yang mirip dengan penjual lainnya, ia akan menyamakan harga tas itu dengan harga yang telah beredar di dunia daring.
”Ada yang jual misalnya Rp 20.000, saya akan turunkan Rp 19.900. Sepele memang, tetapi pemikiran pembeli daring adalah mereka akan membeli yang lebih murah. Diskon Rp 100 itu akan berarti, apalagi untuk pembeli yang belanja secara grosir,” tutur Farida yang memiliki toko bernama Jogjanya Kita, ketika ditemui terpisah.
Dengan berjualan daring, Farida dapat memperoleh tambahan pendapatan Rp 10 juta. Sementara dengan berjualan fisik ia memperoleh keuntungan Rp 40 juta. Saat ini, ia berjualan melalui platform e-dagang Tokopedia dan Bukalapak. Media sosial yang ia gunakan untuk berjualan adalah Whatsapp dan Instagram.
ELSA.EMIRIA
Memang, tuturnya, berjualan daring memiliki kelebihan sendiri dibandingkan dengan berjualan dengan membuka lapak. Angka penjualannya tetap tinggi sekalipun musim hujan karena pembeli tidak perlu datang ke tokonya, tetapi bisa memesan secara daring.
Jajang menambahkan, teman-temannya sesama penjual heran karena ia terus sibuk, baik karena kerap membungkus dagangannya untuk dikirimkan ataupun ojek daring yang datang bolak-balik untuk mengambil pesanan. Hal itu menginspirasi penjual lainnya untuk mencoba berjualan secara daring.
Sebelumnya, Kepala Bekraf Triawan Munaf menyatakan, pemerintah akan terus mendorong pemberdayaan pelaku UMKM menuju dunia digital. Berdasarkan data dari Bekraf, kontribusi sektor ekonomi kreatif terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) adalah Rp 852,56 triliun tahun 2015 dan Rp 922,59 triliun tahun 2016 (Kompas, 16/3/2018).
Saat ini, terdapat 8,2 juta pelaku industri sektor ekonomi kreatif. Tiga sebsektor ekonomi kreatif dengan pendapatan terbesar pada tahun 2016 adalah kuliner (41,40 persen), busana (18,01 persen), dan kerajinan tangan (15,4 persen).
|