Judul | KOMODITAS - Potensi Rebutan Bahan Olah Ancam Industri Karet |
Tanggal | 31 Maret 2018 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 18 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV - Komisi VI |
Isi Artikel | KOMPAS/RHAMA PURNA JATI Petani karet tengah menyadap di kebunnya yang terletak di Pulau Harapan, Kecamatan Sembawa, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Senin (12/2/2018). Harga karet saat ini belum membaik. Di tingkat petani harga karet hanya Rp 5.000 per kilogram. Petani berharap pemerintah segera melakukan kebijakan strategis agar harga karet membaik. JAKARTA, KOMPAS — Para pelaku industri karet menilai rencana pemerintah mencabut industri karet remah dari daftar negatif investasi berisiko mengancam industri karet di dalam negeri. Pencabutan itu membuka peluang investasi asing masuk kian deras. Akibatnya, perebutan bahan olah karet rakyat makin sengit dan berisiko menyingkirkan pelaku yang sudah ada. Kekhawatiran muncul seiring mencuatnya rencana pemerintah mencabut industri karet remah (crumb rubber) dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Saat ini, karet remah masuk dalam DNI dengan kategori bidang usaha terbuka dengan persyaratan, antara lain, syarat izin khusus dari Menteri Perindustrian melalui ketentuan terpadu dengan pengembangan perkebunan karet. Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Suharto Honggokusumo, di Jakarta, Jumat (30/3), berpendapat, dibukanya keran investasi akan menambah kelebihan kapasitas industri. Padahal, pada 2017 saja, kapasitas pengolahan karet remah di seluruh Indonesia tercatat 5,74 juta ton, sementara bahan olah karet rakyat (bokar) hanya tersedia 3,63 juta ton. ”Apa masih perlu ditambah lagi?” ujarnya. Menurut Dewan Karet Indonesia (Dekarindo), kapasitas terpasang industri modal asing atau yang berafiliasi dengannya mencapai 3,06 juta ton per tahun atau 54,3 persen kapasitas nasional. Sebagian di antaranya berafiliasi dengan badan usaha China, negara konsumen karet alam terbesar dunia, mencapai 5,22 juta ton dari total konsumsi dunia yang 13,38 juta ton. Dekarindo, dalam siaran pers, Kamis (29/3), menyebutkan, jika perusahaan modal asing atau afiliasi badan usaha negara konsumen terbesar menguasai produk karet alam Indonesia, harga karet akan mudah diatur pihak lain. Petani karet rakyat yang memproduksi 85 persen karet alam Indonesia berpotensi rugi. Gapkindo dan Dekarindo menilai regulasi yang ada, yakni Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal serta Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 9 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pemberian Izin Khusus bagi Industri Karet Remah, sudah cukup baik. Kedua peraturan itu mensyaratkan investor baru menyediakan setidaknya 20 persen bahan baku sendiri serta 80 persen dari mitra, termasuk petani rakyat. Dengan begitu, investor terlibat dalam pengembangan kebun karet rakyat. Dekarindo juga meminta pemerintah mengkaji lebih cermat risiko pencabutan karet remah dari DNI. Pemerintah dipandang perlu memberi peluang industri yang ada mengoptimalkan kapasitas pengolahan tanpa menambah investor baru. Peremajaan kebun rakyat juga perlu direalisasikan untuk memacu produktivitas dan produksi kebun. Secara terpisah, Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, investasi industri karet remah dibutuhkan, terutama di daerah yang kelebihan pasokan dan jauh dari pabrik. ”Secara nasional memang defisit, tetapi ada beberapa wilayah—seperti di Sumatera Selatan dan Bengkulu—mengalami surplus. Kalau investasi ditutup, bisa terjadi masalah di beberapa tempat itu,” kata Panggah, Kamis. Permasalahan itu, antara lain, terkait serapan karet rakyat. ”Kalau toh terserap, harus dibawa jauh. Berarti terbebani biaya distribusi mahal. Memang di sini harus ada keseimbangan antara industri dan petani,” katanya. Pemerintah, kata Panggah, juga mendorong investasi di sisi hilir untuk meningkatkan serapan dan nilai tambah karet.(MKN/CAS) |
Kembali ke sebelumnya |