Judul | BERAS - Menyoal Harga Pembelian Pemerintah |
Tanggal | 02 April 2018 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi IV - Komisi VI |
Isi Artikel | Hari-hari ini harga beras masih relatif tinggi, meski cenderung turun sejak dua bulan lalu. Harga beras umunya masih di atas harga eceran tertinggi (HET). Adapun harga gabah masih di atas harga pembelian pemerintah (HPP) meski puncak panen diklaim berlangsung selama Maret 2018. Nyatanya, harga beras medium masih di atas HET medium, yakni Rp 9.450-10.250 per kilogram (kg). Sampai akhir pekan lalu, harga beras medium menurut data Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional berkisar Rp 11.800-11.950 per kg, sedikit turun dibandingkan saat puncaknya Rp 12.000-12.100 per kg pada akhir Januari sampai awal Februari 2018. Wajar jika kemudian Presiden Joko Widodo meminta kabinetnya menurunkan harga beras sebelum Ramadhan pada pertengahan Mei 2018. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, seusai memimpin rapat Rabu (28/3/2018), pun meminta pelaku usaha perdagangan mengimplementasikan HET, termasuk beras, setidaknya mulai awal April 2018 ini. Apakah harga beras bisa menyentuh HET? Ada sejumlah situasi yang diperhitungkan bakal menekan harga gabah atau beras bulan ini. Pertama, bantuan sosial beras sejahtera (rastra) untuk 14,2 juta keluarga empat bulan (Januari-April 2018) yang disalurkan pada Maret-April 2018. Kedua, area panen padi meluas pada April 2018. Kedua situasi membuat pasokan dan stok beras masyarakat bertambah sehingga harga gabah dan beras diyakini bakal turun. Di sejumlah sentra padi di Jawa Tengah dan Jawa Timur, harga gabah dilaporkan turun dari Rp 4.400 per kg kering panen (GKP) menjadi Rp 3.900-4.000 per kg. Sementara harga gabah kering giling (GKG) juga turun dari Rp 5.800 per kg jadi kisaran Rp 5.000 per kg. Penurunan ini melanggengkan pola tahunan yang berulang setiap puncak panen musim rendeng pada bulan Februari-April. Penurunan harga tentu menguntungkan pengepul, pedagang, dan pengusaha untuk meningkatkan stok berasnya. Situasi ini juga menjadi kesempatan bagi Perum Bulog untuk mengejar target pengadaan beras 2,7 juta ton tahun ini. Terlebih pemerintah telah menambah ”bekal” pengadaan melalui kebijakan fleksibilitas harga pembelian hingga 20 persen di atas HPP. Akan tetapi, situasi itu merugikan petani, terutama petani yang panen belakangan dan petani gurem. Mereka terpaksa menjual hasil panennya untuk memenuhi kebutuhan hidup serta modal musim tanam kedua. Sayangnya, instrumen stabilisasi harga di tingkat petani, yakni HPP tak kunjung direvisi meski besarannya dianggap sudah tertinggal. Sampai kini, pemerintah masih berpatokan pada Instruksi Presiden (Inpres) 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Sejak tahun 2012 sampai regulasi ini terbit, inflasi telah mencapai 21 persen, sementara HPP hanya naik 12 persen. Jika kini pemerintah masih mengacu Inpres 5/2015, artinya instrumen perlindungan bagi petani semakin jauh tertinggal oleh harga barang kebutuhannya, sebab akumulasi inflasi selama kurun 2012-2018 telah lebih dari 28 persen. Dalam beberapa kesempatan, Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyatakan, sejumlah kebijakan terkait pengadaan beras oleh Bulog cukup untuk menjaga harga di tingkat petani. Selain Inpres 5/2015, sejumlah skema bisa menjadi dasar pembelian, yakni fleksibilitas harga, skema komersial, serta pembelian gabah di luar kualitas. Fleksibilitas memang diyakini meredam penurunan harga gabah/beras di pasar. Apalagi harga pembelian Bulog masih menjadi referensi. Namun, kebijakan HPP dan fleksibilitas dinilai berbeda oleh sejumlah pengamat. Filosofi HPP adalah membeli gabah/beras ketika jumlahnya berlimpah, sementara fleksibilitas memungkinkan pembelian dengan harga lebih tinggi ketika stoknya tipis atau harganya naik.(MUKHAMAD KURNIAWAN) |
Kembali ke sebelumnya |